Sesungguhnyalah, republik ini berdiri atas sokongan berbagai aliran ideologi. Sesungguhnyalah, aktivis-aktivis beraliran kiri, kanan, tengah, bahkan liberal sekalipun, ikut andil dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Hingga puncak proklamasi 17 Agustus 1945, mereka bersatu padu.
Bulir masalah baru menampakkan diri setelah proklamasi. Aliran liberal menghendaki Indonesia menjadi negara Uni Belanda dan menerapkan sistem demokrasi ala Barat. Para pejuang kiri, berusaha menjadikan komunisme menjadi ideologi negara. Sementara aktivis kanan, menghendaki lahirnya negara Islam.
Ada satu yang menarik. Sandi operasi penumpasan gerakan DI/TII oleh pasukan TNI adalah “Bharatayudha”. Sebuah sandi yang sarat makna. Dalam epik Mahabharata, perang Bharatayudha adalah perang antaradua kelompok bersaudara: Pandawa dan Kurawa. Mereka sama-sama keturunan Bharata. Satu kelompok adalah putra Pandu Dewanata, sang pewaris tahta Kerajaan Astina. Kelompok ini dinamakan Pandawa. Kelompok yang lain adalah para putra Destarata, adik Pandu Dewanata.
Akan halnya Bung Karno dan Kartosoewirjo. Keduanya adalah satu tumpah darah, darah Ibu Pertiwi bernama Indonesia. Jika Pandawa dan Kurawa sama-sama berguru kepada Begawan Drona, maka Bung Karno dan Kartosoewirjo pun sama-sama pernah berguru kepada HOS Cokroaminoto di Surabaya.
Konflik bathin dan pesan moral yang tinggi menyelimuti peperangan akbar itu. Bagaimana ketika seorang putra harus tega menghabisi nyawa pamannya. Bagaimana ketika seorang adik harus tega menghabisi nyawa kakaknya. Wejangan-wejangan Bathara Kresna kepada Arjuna agar menegakkan dharma kesatria, bahkan diabadikan dalam Kitab Bhagawad Gita.
Bulir masalah baru menampakkan diri setelah proklamasi. Aliran liberal menghendaki Indonesia menjadi negara Uni Belanda dan menerapkan sistem demokrasi ala Barat. Para pejuang kiri, berusaha menjadikan komunisme menjadi ideologi negara. Sementara aktivis kanan, menghendaki lahirnya negara Islam.
Ada satu yang menarik. Sandi operasi penumpasan gerakan DI/TII oleh pasukan TNI adalah “Bharatayudha”. Sebuah sandi yang sarat makna. Dalam epik Mahabharata, perang Bharatayudha adalah perang antaradua kelompok bersaudara: Pandawa dan Kurawa. Mereka sama-sama keturunan Bharata. Satu kelompok adalah putra Pandu Dewanata, sang pewaris tahta Kerajaan Astina. Kelompok ini dinamakan Pandawa. Kelompok yang lain adalah para putra Destarata, adik Pandu Dewanata.
Akan halnya Bung Karno dan Kartosoewirjo. Keduanya adalah satu tumpah darah, darah Ibu Pertiwi bernama Indonesia. Jika Pandawa dan Kurawa sama-sama berguru kepada Begawan Drona, maka Bung Karno dan Kartosoewirjo pun sama-sama pernah berguru kepada HOS Cokroaminoto di Surabaya.
Konflik bathin dan pesan moral yang tinggi menyelimuti peperangan akbar itu. Bagaimana ketika seorang putra harus tega menghabisi nyawa pamannya. Bagaimana ketika seorang adik harus tega menghabisi nyawa kakaknya. Wejangan-wejangan Bathara Kresna kepada Arjuna agar menegakkan dharma kesatria, bahkan diabadikan dalam Kitab Bhagawad Gita.
Bung Karno? Proklamator dengan endapan banyak ideologi, mulai dari marxis, das capital, komunis, bahkan kajian Alquran dan hadits, Injil, Weda dan berbagai kitab lain… Bapak Bangsa yang jatuh hati terhadap kultur dan budaya Nusantara dari Aceh hingga Papua, sama sekali tidak menghendaki Indonesia liberal, Indonesia negara Islam, Indonesia menjadi negara komunis, atau bentuk-bentuk negara lain.
Pancasila adalah ideologi yang ia tawarkan. Pancasila adalah ideologi yang tumbuh dari bumi pertiwi. Pancasila adalah hasil endapan pergulatan batin, intelektual dan budaya luhur bangsa ini. Terlebih, manakala ia tawarkan Pancasila pada pidato 1 Juni 1945, tidak satu pun tokoh bangsa ini yang menolak.
Jika kemudian Sukarno melangkah dengan panji Pancasila, itu karena ia meyakini, Pancasila saja yang paling pas dan cocok buat bangsanya. Ia pun mengayuh biduk Indonesia Raya ke samudera ganas. Ia dihantam ombak komunis, ia diterjang ombak kapitalis-imperialis, ia digoncang ekstrim kanan.
Beruntun percobaan pembunuhan terhadap dirinya, adalah suatu konsekuensi dari sikap yang kuat, demi tegaknya panji-panji NKRI di bawah ideologi Pancasila. Bahkan untuk prinsipnya, ia harus berseberangan dengan dua sahabat, Muso (kiri) dan Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewirjo (kanan). Keduanya memberontak, keduanya ingin menumbangkan Sukarno dan pemerintahan proklamasi.
Aktivis pro Barat yang beraliran internasionalisme, pernah mencoba-coba membuat proklamasi tandingan di Cirebon. PKI pernah memberontak dan membentuk pemerintahan komunis poros Soviet di Madiun tahun 1948. Tak terkecuali, Kartosoewirjo pun memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di Tasikmalaya pada tanggal 7 Agustus 1949.
Harus diakui, “kawan yang menjadi lawan” paling tangguh bagi Sukarno adalah Kartosoewirjo. Dengan semangat dan jiwa militan, ia bahkan bisa melebarkan gerakan dan pengaruhnya hingga ke sebagian Pulau Jawa, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Bersamaan dengan itu, Kartosoewirjo dengan DI-TII-nya memilih hutan-hutan di pegunungan Jawa Barat sebagai basis perjuangan melawan pemerintahan Sukarno.
Delapan alinea di atas, kiranya cukup buat mengantar ke inti masalah, ke saat-saat dimana prajurit TNI berhasil mendesak DI/TII, dan membuat Kartosoewirjo tak berdaya saat “dijemput” di Gunung Geber, Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Sisa pasukan carut-marut tanpa imam besar yang sudah tertangkap.
Tak terkecuali ketika Bung Karno harus membunuh sahabat karibnya sendiri, saudara seperguruan, teman seperjuangan, Kartosoewirjo. Sebab, pengadilan memang memutuskan hukuman mati baginya. Bung Karno selaku Presiden harus menandatangani berkas vonis mati bagi kawannya.
Di sinilah batinnya berperang. Sejak ditangkap hingga tiga bulan kemudian, Bung Karno selalu menyingkirkan berkas kertas vonis mati atas diri Kartosoewirjo. Keesokan hari, manakala di antara berkas yang harus ditandatangani bertumpuk di atas meja kerja, dan ia dapati kembali berkas vonis mati bagi Kartosoewirjo, ia pun menyingkirkannya. Begitu berulang-ulang, hingga klimaksnya Bung Karno begitu frustrasi dan ia lempar berkas vonis tadi ke udara dan bercecer di lantai ruang kerjanya.
Adalah Megawati sang putri, yang secara khusus dipanggil pulang dari Bandung. Kepada sang ayah, Megawati bertutur laksana Kresna kepada Arjuna. Ia menggambarkan luhurnya hakikat pertemanan sejati. Mega pula yang menyadarkan sang ayah, agar menepati dharmanya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan serta tidak mencampur-adukkan antara hakikat persahabatan dengan tugas dan fungsinya sebagai kepala negara.
Pancasila adalah ideologi yang ia tawarkan. Pancasila adalah ideologi yang tumbuh dari bumi pertiwi. Pancasila adalah hasil endapan pergulatan batin, intelektual dan budaya luhur bangsa ini. Terlebih, manakala ia tawarkan Pancasila pada pidato 1 Juni 1945, tidak satu pun tokoh bangsa ini yang menolak.
Jika kemudian Sukarno melangkah dengan panji Pancasila, itu karena ia meyakini, Pancasila saja yang paling pas dan cocok buat bangsanya. Ia pun mengayuh biduk Indonesia Raya ke samudera ganas. Ia dihantam ombak komunis, ia diterjang ombak kapitalis-imperialis, ia digoncang ekstrim kanan.
Beruntun percobaan pembunuhan terhadap dirinya, adalah suatu konsekuensi dari sikap yang kuat, demi tegaknya panji-panji NKRI di bawah ideologi Pancasila. Bahkan untuk prinsipnya, ia harus berseberangan dengan dua sahabat, Muso (kiri) dan Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewirjo (kanan). Keduanya memberontak, keduanya ingin menumbangkan Sukarno dan pemerintahan proklamasi.
Aktivis pro Barat yang beraliran internasionalisme, pernah mencoba-coba membuat proklamasi tandingan di Cirebon. PKI pernah memberontak dan membentuk pemerintahan komunis poros Soviet di Madiun tahun 1948. Tak terkecuali, Kartosoewirjo pun memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di Tasikmalaya pada tanggal 7 Agustus 1949.
Harus diakui, “kawan yang menjadi lawan” paling tangguh bagi Sukarno adalah Kartosoewirjo. Dengan semangat dan jiwa militan, ia bahkan bisa melebarkan gerakan dan pengaruhnya hingga ke sebagian Pulau Jawa, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Bersamaan dengan itu, Kartosoewirjo dengan DI-TII-nya memilih hutan-hutan di pegunungan Jawa Barat sebagai basis perjuangan melawan pemerintahan Sukarno.
Delapan alinea di atas, kiranya cukup buat mengantar ke inti masalah, ke saat-saat dimana prajurit TNI berhasil mendesak DI/TII, dan membuat Kartosoewirjo tak berdaya saat “dijemput” di Gunung Geber, Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Sisa pasukan carut-marut tanpa imam besar yang sudah tertangkap.
Tak terkecuali ketika Bung Karno harus membunuh sahabat karibnya sendiri, saudara seperguruan, teman seperjuangan, Kartosoewirjo. Sebab, pengadilan memang memutuskan hukuman mati baginya. Bung Karno selaku Presiden harus menandatangani berkas vonis mati bagi kawannya.
Di sinilah batinnya berperang. Sejak ditangkap hingga tiga bulan kemudian, Bung Karno selalu menyingkirkan berkas kertas vonis mati atas diri Kartosoewirjo. Keesokan hari, manakala di antara berkas yang harus ditandatangani bertumpuk di atas meja kerja, dan ia dapati kembali berkas vonis mati bagi Kartosoewirjo, ia pun menyingkirkannya. Begitu berulang-ulang, hingga klimaksnya Bung Karno begitu frustrasi dan ia lempar berkas vonis tadi ke udara dan bercecer di lantai ruang kerjanya.
Adalah Megawati sang putri, yang secara khusus dipanggil pulang dari Bandung. Kepada sang ayah, Megawati bertutur laksana Kresna kepada Arjuna. Ia menggambarkan luhurnya hakikat pertemanan sejati. Mega pula yang menyadarkan sang ayah, agar menepati dharmanya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan serta tidak mencampur-adukkan antara hakikat persahabatan dengan tugas dan fungsinya sebagai kepala negara.
September 1962, terpekur lama Bung Karno di meja kerjanya. Ia melambungkan memori masa muda di Surabaya, saat berasyik-ceria menebar canda bersama Kartosoewirjo. Ia mengingat hari-hari pergerakan menentang penjajahan Belanda maupun Jepang bersama-sama. Ia terngiang diskusi-diskusi politik, agama, kebangsaan dan apa saja yang begitu hangat.
Hari itu, ia harus menggoreskan tanda tangan di atas berkas vonis. Coretan tanda tangannya, sama arti dengan akhir dari kehidupan Kartosoewirjo. Ia pandangi kembali selembar foto Kartosoewirjo. Ia tatap berlama-lama, sambil berlinangan air mata. Dan benar adanya, ketika ia menerima laporan ihwal tertangkapnya Kartosoewirjo beberapa bulan sebelumnya, satu pertanyaan Bung Karno adalah, “Bagaimana matanya?”
Ketika tidak ada satu pun yang bisa menjawab, maka keesokan harinya, petugas menyodorkan foto Kartosoewirjo. Demi melihat foto sahabat yang memusuhinya, Bung Karno tersenyum dan berkata, “Sorot matanya masih tetap. Sorot matanya masih sama. Sorot matanya masih menyinarkan sorot mata seorang pejuang.”
Tegar hatinya untuk menandatangani berkas vonis mati bagi rekannya. Ikatan batin keduanya, kedalaman spiritual keduanya, bahkan abadi hingga hari ini. (roso daras)