MENGUBAH DENGAN KEKUATAN TAULADAN
Oleh K.H. Abdullah Gymnastiar
Ketua Ponpes Daarut-Tauhiid -
Bandung
Manajemen Qolbu: Mengubah dengan
Kekuatan Tauladan
Mudah-Mudahan kita semua tidak
menjadi contoh keburukan bagi orang lain. Mudah-mudahan anak-anak kita tidak
mencontoh perilaku buruk yang pernah khilaf kita, para orang tuanya lakukan.
Dan mudah-mudahan pula anggota lingkungan masyarakat kita tidak menjadikan kita
sebagai salah satu figur keburukan, akibat perilaku buruk yang kita lakukan.
Alangkah ruginya dalam hidup yang
cuma sekali-kalinya ini dan orang lain meniru keburukan kita, naudxubillah.
Ingatlah bahwa jika kita berperilaku buruk dan tidak bermoral, maka ketika
orang berbicara, akan berbicara tentang keburukan kita. Apalagi jika orang lain
mencontoh perilaku buruk itu, berarti kita juga akan memikul dosanya.
Namun seandainya justru orang
atau masyarakat di sekitar kita yang berperilaku kurang baik, maka sudah
sewajarnya bila kita menekadkan diri untuk mengubahnya menuju arah kebaikan.
Lalu, bagaimana cara mengubah orang menjadi lebih baik secara efektif ?
Salah satu caranya adalah dengan
kekuatan suri tauladan atau menjadi contoh terlebih dahulu. Jika ingin mengubah
orang lain, maka pertanyaan pertama yang harus dilakukan adalah sudah pantaskah
kita menjadi contoh kebaikan akhlak bagi orang lain? Sudahkah kita menjadi suri
tauladan bagi apa yang kita inginkan ada pada diri orang lain itu?
Rasulullah SAW gemilang menyeru
ummat ke jalan-Nya, mengubah karakter ummat dari zaman kegelapan menuju jalan
penuh cahaya yang ditempuh hampir 23 tahun. Salah satu pilar strategi
keberhasilannya adalah karena Rasul memiliki kekuatan suri tauladan yang
sungguh luar biasa. Yakinlah bahwa cara paling gampang mengubah orang lain
sesuai keinginan kita adalah dengan cara menjadikan diri kita sebagai media
atau contoh yang layak ditiru.
Karenanya, jangan bercita-cita
memiliki anak yang santun, lembut, kalau kesantunan dan kelembutan itu tidak
ada dalam diri orang tuanya. Jangan bercita-cita punya anak yang tahu etika,
kalau cara mendidik yang dilakukan orang tuanya tidak menggunakan etika. Sangat
mustahil akan terwujud ketika para pimpinan ingin anggotanya berdisiplin,
padahal disiplin itu bukan bagian dari diri pimpinannya. Contoh sederhana,
mengapa P4 gagal menjadi pedoman hidup yang jadi acuan bangsa Indonesia ?
Karena tidak ada contoh tauladannya. Siapa sekarang pemimpin bangsa ini yang
paling Pancasilais ? Susah mencarinya. Seumpama mata air di pegunungan yang
sudah keruh tercemar. Kalau dari sumbernya sudah keruh, walau yang di bawah di
bening-beningkan juga tidak akan bisa. Di hilir menjadi keruh karena di hulunya
juga keruh.
Orang tua ingin anak-anaknya
tidak merokok padahal ternyata orang tuanya perokok berat, bagaimana mungkin ?
Para guru ingin murid-muridnya tidak mengganja, padahal ganja itu awalnya dari
rokok, dan ternyata para guru merokok di depan murid-muridnya. Jangan-jangan
kita yang menjerumuskan mereka ?
Di Rumah Sakit Ketergantungan
Obat (RSKO) Jakarta ada sebuah contoh menarik tentang mengapa anak-anak menjadi
seorang perokok atau pengganja. Di salah satu dindingnya tergantung sebuah
potret seorang ibu yang sedang menimang-nimang bayinya, dan ternyata si ibu ini
melakukannya sambil merokok. Tidak bisa tidak. Perilaku si Ibu ini merupakan
contoh bagi si bayi yang ada dipangkuannya.
AH, sahabat. Sayang sekali kita
terlalu banyak menuntut pada orang lain, padahal sebenarnya yang paling layak
kita tuntut adalah diri kita sendiri. Para guru bertanggung jawab kalau para
murid akhlaknya menjadi jelek. Karena mungkin akhlak Pak Gurunya dan Akhlak BU
Gurunya kurang baik. Lihat moral para mahasiswa yang bejat, kumpul kebo,
mengganja, dan sebagainya. Tidak usah heran, lihatlah akhlak para dosennya,
moral para dosennya yang mungkin tidak jauh berbeda. Santri di pondok-pondok
jadi turun ibadahnya, jelek akhlaknya, jarang tahajutnya, lihat saja akhlak
para ustadnya. Di kantor karyawan sering datang terlambat, kinerjanya tidak
optimal, kasus kehilangan meningkat, lihat saja akhlak pimpinannya. Pimpinan
mencuri, karyawan pun akan mencontohnya dengan mencuri pula.
Oleh karena itu, pertanyaan yang
harus selalu kita lakukan adalah sudahkah diri kita ini menjadi contoh kebaikan
atau belum ? Omong kosong kita bicara masalah disiplin atau masalah aturan,
kalau ternyata kita sendiri belum membiasakan diri untuk berdisiplin atau taat
aturan. Sehebat apapun kata-kata yang terlontar dari mulut ini, perilaku yang
terpancar dari pribadi kita justru akan jauh berpengaruh lebih dahsyat daripada
kata-kata.
Bersiap-siaplah untuk menderita
bagi seorang ayah yang tidak bisa menjadi contoh kebaikan bagi anak-anaknya.
Bersiaplah untuk memikul kepahitan bagi seorang ayah yang tidak dapat menjadi
suri tauladan bagi keluarga dan keturunannya. Bersiap-siaplah untuk menghadapi
perusahaan yang ruwet dan rumit kalau seorang atasan tidak menjadi contoh bagi
karyawannya. Bersiaplah menghadapi kepusingan jikalau seorang pimpinan tidak
menjadi contoh bagi yang dipimpinnya.
Ingat, jangan mimpi mengubah
orang lain sebelum diawali dengan mengubah diri sendiri. Allah SWT, dengan tegas
menyatakan kemurkaannya bagi orang yang menyuruh berperilaku apa-apa yang
sebenarnya tidak ia lakukan.
"Sungguh besar kemurkaan di
sisi ALLAH bagi orang yang berkata-kata apa-apa yang tidak diperbuatnya"
(QS Ash Shaaf 21 : 3).
Bukan tidak boleh berkata-kata,
tapi kemuliaan akhlak pribadi akan jauh lebih memperjelas kata-kata kita.
Dan menjadi contoh juga tidak
akan efektif kecuali contoh itu penuh keikhlasan. Karena ada pula yang memberi
contoh tapi riya, ingin dipuji, ingin dinilai orang lain hebat, ingin
dihormati, dan ingin dihargai. Kalau tujuannya seperti ini, tidak akan berarti
apa-apa. Hati hanya bisa disentuh oleh hati lagi. Contoh yang tidak ikhlas
tidak akan dicontoh oleh orang lain. Contoh yang karena pujian, over acting
tidak akan masuk kepada hati orang lain. Contoh haruslah dilakukan dengan
ikhlas. Jangan berharap atau bahkan berpikir untuk dipuji dan dihormati.
Nah Sahabat. Selalulah tanya pada
diri ini contoh apa yang akan kita tunjukkan dalam hidup yang sekali-kalinya
ini. Apakah contoh tauladan kebaikan ? Ataukah malah sebaliknya contoh tauladan
keburukan ? Naudzhubillah.
Apakah contoh pribadi yang matang
ataukah malah pribadi yang kekanak-kanakan? Karenanya menjadi suatu keharusan
bagi seorang ayah, seorang ibu, seorang pemimpin, dan bagi siapa pun untuk
memberikan contoh terbaik dari dirinya. Hidup cuma sekali dan belum tentu
panjang umur. Akan menjadi suatu yang sangat indah jikalau kenangan dan warisan
terbesar bagi keluarga dan lingkungan sekitar adalah terpancarnya cahaya
pribadi kita yang layak di tauladani oleh siapa pun. Semuanya tiada lain adalah
buah dari mulianya akhlak.
Bandung, 29 Oktober 1999