MENJADI AHLI AL QUR’AN
“Bacalah Al-Quran, karena ia akan datang pada hari kimat memberikan syafaat kepada para sahabatnya (pembaca dan pengamalnya)” (HR. Muslim)
Al-Quran sebagai kitab Allah yang terakhir diturunkan laksana “mata air” yang tidak pernah kering. Semakin digali, semakin memancarkan airnya. Para sahabat, tabi'in, tabi' tabi'in dan para salafussalih kita “laksana orang yang meminum air laut”. Semakin mereka banyak membaca dan mengamalkan Al-Quran, semakin mereka merasa dahaga.
Al-Quran, sebagaimana yang disebutkan oleh Allah, memberi petunjuk kepada jalan yang lebih lurus: “Sesungguhnya Al-Quran ini memberi petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (Qs. Al-Isrâ’ [17]: 9).
Dengan demikian, Al-Quran adalah jalan untuk meraih “istiqomah” di jalan Allah. Sehingga, ia dapat menjadikan etika kita lurus: tidak menyimpang dari rel agama yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Maka tidak heran jika para sahabat, tabi'in dan generasi yang hidup di rumah nubuwah merupakan contoh ideal para pengamal Al-Quran. Al-Quran memiliki kekuatan “magis” yang tidak dapat dideteksi oleh siapapun kecuali oleh para “ahli Al-Quran” itu sendiri. Sehingga Allah menjelaskan di dalam ayat-Nya yang lain: “Sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini pada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia, supaya mereka berpikir” (Qs. Al-Hasyr [59]: 21).
Kekuatan “magis” yang ada di dalam Al-Quran itulah yang dipahami oleh generasi nabawi terbaik. Sehingga Allah menggambarkan bahwa gunung saja dapat “terpecah belah”. Karena ia tahu dan mengerti bagaimana keagungan Al-Quran: yang mengandung ajaran-ajaran, perintah-perintah, nasehat-nasehat dari Tuhannya.
Dapat dibayangkan, gunung saja yang “tidak berakal” dapat seperti itu ketika diletakkan Al-Quran di atas tubuhnya, maka merupakan hal yang ironis jika Al-Quran yang diperuntukkan bagi kita (umat Islam) tidak menggugah dan menyentuh hati kita sedikitipun.
Memang, tidak dapat disamakan cara seseorang dalam berinteraksi dengan Al-Quran, karena Allah sendiri telah mengklafikasikannya: “Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami. Lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar” (Qs. Fâthir [35]: 32).
Namun adalah hal yang tidak bijak jika seseorang mengaku bahwa sebatas itulah kemampuannya dalam berinteraksi dengan Al-Quran itu. Apakah tidak lebih baik jika kita berusaha agar tidak termasuk kepada golongan orang yang berbuat zalim (aniaya) kepada diri sendiri? Yaitu orang-orang yang ketika menerima Al-Quran malah banyak melakukan kesalahan dan kezaliman. Sehingga, Al-Quran benar-benar tidak memberikan bekas dalam kehidupannya. Dengan demikian perlu dipertanyakan: apa sebenarnya fungsi Al-Quran dalam kehidupan seorang Muslim? Allah telah menjelaskan di dalam kitab-Nya itu bahwa Al-Quran setidaknya berfungsi sebagai; pertama, maw'izhah (pelajaran), kedua, syifa'(penawar) bagi penyakit jiwa dan ketiga, hudan (petunuk) dan keempat adalah rahmah (rahmat) bagi orang-orang yang beriman. “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang ada di dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (Qs. Yunus [10]: 57). Dalam ayat lain Allah menjelaskan: “Dan Kami turunkan dari Al-Quran sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” (Qs. Al-Isrâ’ [17]: 82).
Betapa Al-Quran itu penuh dengan berbagai pelajaran, yang harus dicermati dan ditadabburi oleh setiap Muslim. Salah satunya adalah cerita-cerita umat terdahulu yang durhaka kepada Allah: Firaun yang menobatkan dirinya sebagai Tuhan yang tertinggi, namun ia pengecut dan harus mempertahankan kedudukannya “sebagai tuhan” dengan cara mengumpulkan para tukang sihir. Akhirnya, dengan kesombongan dan kepongahannya itu ia ditenggelamkan oleh Allah. Al-Quran juga merekam kisah Qorun, seorang konglomerat yang sombong dan tidak tahu diri. Ia menganggap bahwa harta yang dimilikinya sebagai hasil dari ilmu yang dimilikinya (Qs. Al-Qashshash [28]: 78). Akhirnya ia ditenggelamkan ke dalam bumi beserta hartanya yang dibanggakannya itu. Al-Quran juga menceritakan kisah kaum 'Aad: penduduk negeri Aram yang memiliki bangunan-bangunan yang tinggi. Bangunan-bangunan yang mereka buat merupakan bentuk bangunan yang belum pernah ada sebelumnya. Begitu juga dengan kaum Tsamud yang memiliki kemampuan memotong batu-batu besar di lembah serta kaum Fir`aun yang memliki pasak-pasak (tentara yang banyak), namun suka berbuat sewenang-wenang dan berbuat kerusakan di dalam negeri. Akhirnya seluruhnya dibinasakan oleh Allah (Qs. Al-Fajr [89]: 6-13).
Al-Quran juga kaya dengan syifa'(penawar). Penyakit dengki, iri hati, sombong, cinta dunia dan sebagainya tidak memiliki tempat dalam dada para “ahli Al-Quran. Orang yang tidak mampu menyerap dan merasakan syifa' Al-Quran hanya akan menjadi Fir`aun gaya baru, Qorun-Qorun modern dan Haman alias teknokrat yang takabbur serta Qabil si serakah. Tidakkah Al-Quran sangat membenci orang-orang yang “takabbur”? Takabbur adalah sifat Iblis: yang membuatnya harus keluar dari surga Allah (Qs. Al-Hijr [15]: 28-34). Oleh karena itu, Allah sangat membenci sifat ini (Qs. Al-A`râf [7]: 146 dan Qs. Ghafir [40]: 35).
Orang yang suka melirik kelebihan yang dimiliki oleh orang lain juga dicerca oleh Al-Quran (Qs. An-Nisâ [4]: 32). Karena perbuatan seperti itu adalah sifat orang yang tidak ridha terhadap pemberian Allah. Juga, karena apa yang diperoleh oleh setiap orang adalah hasil dari keringatnya sendiri. Di samping Allah memang sudah mengatur semuanya berbeda: ada yang tinggi pangkatnya ada pula yang rendah. Ada orang kaya juga ada orang miskin.
Karena pada hakikatnya Allah menginginkan dari masing-masing orang tersebut untuk bersyukur dan menyadari akan keadilan Allah. Agar tercipta kerukunan dan “simbiosis mutualisme Qurani”.
Al-Quran juga petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa: orang-orang yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat, menafkahkan sebagian rizki yang diberikan oleh Allah kepada mereka, mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad dan Kitab-kitab yang telah diturunkan sebelum Al-Quran dan orang-orang yang yakin akan adanya hari akhirat (Qs. Al-Baqarah [2]: 2-4). Itulah orang-orang yang berada di rel hudan (petunjuk) Allah dan mendapat kesuksesan (Qs. Al-Baqarah [2]: 5). Karena Al-Quran berfungsi sebagai petunjuk, maka ia menjadi penjelas dari petunjuk-petunjuk tersebut sekaligus berfungsi sebagai al-furqan: pembeda antara yang hak dan yang bathil (Qs. Al-Baqarah [2]: 185).
Al-Quran begitu “apik” dalam memberikan petunjuk kepada manusia. Ia menjelaskan bahwa kewajiban dan tugas manusia di muka bumi adalah sebagai khalifatullah: wakil Allah dalam menjaga dan melestarikan alam beserta isinya. Meskipun manusia banyak juga yang menjadi perusak alam yang diamanahkan kepadanya. Manusia adalah “hamba” Allah: berfungsi sebagai orang yang menyerahkan segala bentuk pengabdiannya kepada penciptanya yang Maha Kuasa dan Mulia (Qs. Al-Dzâriyât [51]: 56). Meskipun manusia banyak juga yang menjadi “hamba dunia”: budak jabatan dan kekuasaan, budak manusia dan benda-benda yang diciptakan oleh tangan manusia sendiri. Allah pun akhirnya tersingkir dari kehidupannya. Sampailah manusia itu kepada derajat menuhankan “hawa nafsunya” sendiri (Qs. Al-Furqân [25]: 43).
Salah satu penghambat seorang Muslim untuk menjadi “ahli Al-Quran”, karena ia kurang memahami bahwa Al-Quran itu “rahmat” dalam kehidupannya. Allah Maha Mengetahui kehidupan dan kebutuhan manusia. Sehingga, Ia memberikan hadiah yang tidak dapat dinilai oleh apapun: dialah Al-Quran. Ia selalu mengingatkan manusia agar menempuh jalan yang lurus: “Al-Quran itu tiada lain hanyalah peringatan bagi semesta alam. (yaitu) bagi siapa saja di antara kamu yang ingin menempuh jalan yang lurus” (Qs. At-Takwîr [81]: 27-28).
Untuk menjadi “ahli Al-Quran”, ada beberapa hal yang harus kita lakukan:
Pertama, menyibukkan diri dengan Al-Quran.
Kita usahakan kehidupan kita tidak lepas dari Al-Quran dengan cara memberikan (setiap hari) "waktu” luang untuk membacanya. Dalam sebuah hadits Qudsiy, Nabi saw menyatakan: “Tuhan Azza Wa Jalla berfirman: “Barangsiapa yang disbukkan oleh Al-Quran dan mengingat Aku, Aku akan memberikan kepadanya sesuatu yang lebih baik dari apa yang dipinta oleh orang-orang yang meminta (kepada-KU). Keutamaan firman Allah (Al-Quran) dibandingkan dengan seluruh perkataan (lain) adalah laksana keutamaan Allah dibanding dengan ciptaan-Nya” (HR. Turmudzi). Dalam hadits yang lain, Rasulullah saw bersabda: “Bacalah oleh kalian Al-Quran ini, dan janganlah kalian tertipu oleh lembaran-lembaran yang tergantung ini. Sesungguhnya Allah tidak akan menyiksa hati yang sadar akan Al-Quran” (HR. Al-Darimiy).
Bahkan, orang yang tidak pernah membaca Al-Quran diumpamakan oleh Nabi saw sebagai “rumah yang roboh (kosong dan hampa)”. “Sesungguhnya orang yang tidak pernah keluar Al-Quran sedikitpun dari tenggorokannya, seperti rumah yang roboh” (HR. Turmudzi).
Kedua, mentadabburi isinya.
Kita berusaha untuk menghayati apa yang kita baca (Al-Quran). Sehingga kita benar-benar akan menemukan bahwa Al-Quran itu benar-benar diturunkan dari Allah swt. Karena kalau diturunkan dari selain Allah, niscaya banyak mengandung berbagai kontradiksi dan kesalahan (Qs. An-Nisa’ [4]: 82). Di samping itu, Allah juga memang menganjurkan agar Al-Quran itu ditadabburi (Qs. Muhammad [47]: 24).
Ketiga, mengamalkan kandungan Al-Quran.
Sungguh, Al-Quran tidak akan memancarkan cahayanya jika ia tidak diaplikasikan oleh para “ahlinya”. Salah satu caranya adalah dengan mengajarkan Al-Quran itu kepada orang lain. Agar ia dapat merasakan keagungan Kitab Tuhannya. “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya kepada orang lain” (HR. Bukhari).
Untuk itulah kiranya Nabi berwasiat kepada Abu Dzar Al-Ghifari: “Hendaklah engkau membaca Al-Quran, ia adalah cahayamu di dunia dan menjadikanmu disebut-sebut di atas langit” (HR. Abu Ya`la). Hasan Al-Bashri berkata: “Carilah kelezatan dalam tiga hal: dalam shalat, dalam zikir dan dalam membaca Al-Quran. Kalian akan merasakannya, jika tidak, berarti pintu (hati) telah tertutup”. Utsman juga berkata: “Jika hati kalian itu bersih, niscaya ia tidak akan pernah kenyang dari perkataan Tuhan kalian”.
Itulah potret dari para “ahli Al-Quran”. Karena mereka tahu bahwa Al-Quran itu Kitab pilihan, dibawa oleh utusan pilihan (Jibril), diturunkan kepada Nabi pilihan untuk dihadiahkan kepada umat pilihan. Tidakkah kita ingin menjadi “ahli Al-Quran” seperti mereka? Mudah-mudahan dengan memahami dan mengamalkan fungsi Al-Quran di atas, kita dapat menjadi “ahli Al-Quran”: orang yang benar-benar meresapi dan mengamalkan isi (kandungan) Al-Quran dalam kehidupan. Wallahu A`lamu bi al-shawab. (Cairo, 27 April 2005).