HARTA HANYA TITIPAN
(ws rendra)
Sering kali aku berkata,
ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,
tetapi,
mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
Dan kalau bukan milikku,
apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat,
ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali,
kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja
untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.
Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,
Seolah ...
semua "derita" adalah hukuman bagiku.
Seolah ...
keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:
aku rajin beribadah,
maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan Nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
dan bukan Kekasih.
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku",
dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,
Gusti,
padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah kepada - Mu...
Menyikapi Harta
Harta pada dasarnya bersifat netral. Ia tidak mulia atau hina, baik atau buruk. Ia lebih sebagai ujian bagi sifat dasar manusia terhadap Allah SWT. Dengan harta itu, mampukah ia menjadi hamba yang lebih dekat kepada-Nya, atau justru menjadi budak harta yang terlena dan teperdaya olehnya.
Pendek kata, ia merupakan cobaan bagi keimanan dan ketaatan hamba kepada Sang Pencipta. Firman Allah SWT, ''Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu). Di sisi Allahlah pahala yang besar.'' (At-Taghabun: 15). Ayat tadi tidak hanya memastikan bahwa harta adalah ujian, namun juga menunjukkan sesungguhnya harta --juga jenis kenikmatan duniawi lainnya-- seberapa pun besarnya, tidak memiliki nilai sama sekali di hadapan Allah. Sebanyak apa pun harta yang dimiliki seseorang, ia tetap kecil di hadapan Allah dan tidak kekal. Tapi, yang bernilai adalah ketika harta itu bisa difungsikan dengan tepat, sesuai dengan yang Allah amanatkan.
Jika telah demikian, maka pahala di sisi Allahlah yang menjadi balasannya. ''Kesenangan di dunia ini hanya sebentar (sementara). Dan, akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikit pun.'' (An-Nisaa': 77). Begitulah Allah SWT menjelaskan hakikat harta dan segala kenikmatan dunia lainnya. Sebagai ujian, ia ditimpakan kepada siapa saja, lintas strata, dan tanpa pandang bulu: orang kaya, orang miskin, cendekiawan, pejabat, dan bahkan agamawan. Masing-masing diuji dengan harta yang ada pada mereka.
Kesadaran memahami kehidupan dunia sebagai ujian semacam ini perlu dibangun agar harta tidak membutakan mata hati dan memalingkan manusia dari Allah SWT. ''Hai orang-orang yang beriman, jangan sampai harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikanmu dari Allah. Siapa yang terlalaikan oleh harta dan anak, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.'' (Al-Munafiqun: 9). Karena itu, sikap terbaik dalam menjalani hidup adalah berperilaku zuhud. Zuhud adalah sikap di mana kita tidak merasa bangga, buta hati, dan teperdaya dengan harta dan segala kenikmatan dunia. Sebaliknya, kita juga tidak merasa kehilangan dan berduka ketika segala kenikmatan tersebut dicabut dari kita.
Allah berfirman, ''Supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.'' (Al-Hadid: 23). Orang yang bersikap zuhud niscaya akan selalu tenang menjalani hidup dan selalu merasa cukup dan puas dengan apa yang ada pada dirinya. Ia tidak sombong dan terlena dengan harta karena menyadari betul ia hanyalah amanat dari Allah untuk dipergunakan dengan tepat.
Seorang sufi menyatakan, ''Kekayaan itu adalah kepuasan.'' Yakni, puas dengan apa yang ada pada kita. Suburnya korupsi di negeri ini, antara lain, karena banyak dari kita yang rakus, tidak amanah, dan telah diperbudak oleh harta. Orang yang demikian tidak akan ada puasnya. Sebab, ia sudah dikendalikan oleh harta dan bukan dia yang mengendalikan harta. Wallahu a'lam bis-shawab.