Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Mengenai Peraturan Koperasi dan Lembaga Keuangan



Sekilas Dewan Syariah Nasional MUI

  1. Mengenal DSN-

          DSN adalah singkatan dari Dewan Syariah Nasional. DSN adalah lembaga yang dibentuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempunyai fungsi melaksanakan tugas-tugas MUI dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan aktifitas lembaga keuangan syariah. Salah satu tugas pokok DSN adalah mengkaji, menggali dan merumuskan nilai dan prinsip-prinsip hukum Islam (Syari`ah) dalam bentuk fatwa untuk dijadikan pedoman dalam kegiatan transaksi di lembaga keuangan syari`ah. Melalui Dewan Pengawas Syari`ah melakukan pengawasan terhadap penerapan prinsip syari`ah dalam sistem dan manajemen lembaga keuangan syari`ah (LKS).
Struktur organisasi DSN terdiri dari Pengurus Pleno (56 Anggota) dan Badan Pelaksana Harian (17 orang anggota). Ketua DSN-MUI dijabat Ex Officio Ketua Umum MUI dan sekretaris DSN-MUI dijabat Ex Officio Sekretaris Umum MUI. Adapun keanggotaan DSN diambil dari pengurus MUI, Komisi Fatwa MUI, Ormas Islam, Perguruan Tinggi Islam, Pesantren dan para praktisi perekonomian syariah yang memenuhi kriteria dan diusulkan oleh Badan Pelaksana Harian DSN yang mana keanggotaan baru DSN ditetapkan oleh Rapat Pleno DSN-MUI.
Rapat Dewan Syariah Nasional MUI terdiri dari Rapat Pleno dan Rapat BPH. Untuk Rapat Pleno:
    • Peserta : Semua pengurus DSN-MUI
    • Materi : Pembahasan dan penetapan fatwa tentang produk LKS (sampai saat ini ada 54 fatwa) serta masalah - masalah yang bersifat kebijakan DSN
    • Tempat : berdasarkan kebutuhan
Sedangkan untuk Rapat BPH:
    • Peserta : BPH DSN-MUI (17 orang)
    • Materi :
      - Rapat rutin mingguan tiap hari Rabu
      - Rapat silaturrahim dengan calon DPS
      - Rapat presentasi calon LKS
      - Rapat khusus, misalnya dalam rangka menyusun draft fatwa, dsb.
    • Tempat :
      - Ruang rapat DSN MUI
      - Gedung BI Lt. 5
  1. Prosedur Penetapan Dewan Pengawas Syariah (DPS)
    Prosedur penetapan Dewan Pengawas Syariah (DPS) di Lembaga Keuangan Syariah dan Lembaga Bisnis Syariah (LKS-LBS) adalah sebagai berikut :
    • LKS mengajukan permohonan penempatan DPS kepada DSN melalui sekretariat DSN. Permohonan tersebut dapat disertai nama calon DPS atau meminta calon kepada DSN
    • Permohonan tersebut dibahas dalam rapat BPH DSN-MUI
    • Apabila diperlukan diadakan silaturrahim antara BPH DSN-MUI dengan calon DPS untuk mengenal lebih jauh kepribadian dan kepantasannya
    • Hasil rapat BPH DSN-MUI dilaporkan kepada pimpinan DSN-MUI
    • Pimpinan DSN-MUI menetapkan nama-nama yang diangkat sebagai DPS
  1. Kedudukan DPS dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
    • Tugas utama DPS adalah mengawasi kegiatan usaha lembaga keuangan syari`ah agar sesuai dengan ketentuan dan prinsip syari`ah yang telah difatwakan oleh DSN.
    • Fungsi Fungsi utama DPS adalah: sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha syari`ah dan pimpinan kantor cabang syari`ah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syari`ah dan sebagai mediator antara LKS dengan DSN dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari LKS yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN.
    • Posisi DPS adalah wakil DSN dalam mengawasi pelaksanaan fatwa-fatwa DSN di LKS
    • Masa Khidmah (Belum ditetapkan)
    • Hak DPS
      1. Honorarium/uang transport yang pantas.
      2. Ruang kerja / ruang rapat yang memadai
      3. Mengetahui secara mendalam ketentuan syari`ah yang dijalankan di LKS yang bersangkutan
      4. Mengetahui dan mengkritisi rencana operasional (bisnis plan) LKS yang bersangkutan.
    • Kewajiban DPS
      1. Menghadiri rapat-rapat rutin DPS
      2. Memberikan bimbingan dan pertimbangan syari`ah kepada LKS yang bersangkutan
      3. Memberikan nasihat dan koreksi kepada LKS bila ditemukan penyimpangan yang tidak sesuai syariah.
      4. Memberikan opini syari`ah kepada LKS yang bersangkutan
      5. Melaporkan hasil kerjanya secara berkala kepada DSN-MUI.
    • Peran dan Fungsi DPS
      1. Mengawasi pelaksanaan fatwa DSN di LKS
      2. Memberikan usul dan saran kepada LKS
      3. Memberikan opini syariah
      4. Mengusulkan fatwa kepada DSN
    • Rapat-rapat DPS
      1. Rapat DPS diselenggarakan di kantor LKS pada waktu /jadual yang telah disepakati bersama (dua bulanan, satu bulanan, setengah bulanan, mingguan, atau sewaktu-waktu diperlukan).
      2. Rapat-rapat DPS diikuti oleh seluruh anggota DPS beserta pimpinan atau staf LKS yang ditunjuk.
      3. Rapat-rapat DPS membahas masalah yang berkaitan dengan fatwa DSN, rencana kerja baru, opini syariah, rencana usulan fatwa, dll.
  1. Opini Syariah
    • Pengertian Opini Syariah
      Opini syari`ah adalah pendapat kolektif dari DPS yang telah dibahas secara cermat dan mendalam mengenai kedudukan / ketentuan syar`i yang berkaitan dengan produk atau aktifitas LKS. Opini syari`ah dapat dijadikan pedoman sementara sebelum adanya fatwa DSN mengenai masalah tersebut.
    • Kedudukan Opini Syariah
      Kedudukan opini syari`ah bersifat sementara, sampai keluarnya fatwa dari DSN. Sebelum adanya fatwa DSN, opini syari`ah dapat dibenarkan atau dapat dijadikan landasan pelaksanaan produk LK
    • Prosedur Pengusulan Fatwa Baru
      DPS, baik sendiri maupun bersama-sama dengan pimpinan LKS, dapat mengajukan usulan kepada DSN untuk mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan produk atau kegiatan LKS melalui BPH DSN. Usulan tersebut untuk selanjutnya diformulasikan secara baik untuk dibahas dalam rapat pleno DSN-MUI
    • Rangkaian Kerja DPS
      1. Menyusun rencana kerja bersama pimpinan LKS
      2. Menghadiri rapat-rapat DPS
      3. Memberikan opini syari`ah
      4. Memberikan saran dan pendapat kepada pimpinan LKS
      5. Melaporkan pelaksanaan kerjanya kepada DSN secara terbuka

01 - Giro
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 01/DSN-MUI/IV/2000
Tentang GIRO

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG GIRO

Pertama : Giro ada dua jenis:
1.      Giro yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan perhitungan bunga.
2.      Giro yang dibenarkan secara syariah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.

Kedua : Ketentuan Umum Giro berdasarkan Mudharabah:
1.      Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2.      Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3.      Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
4.      Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5.      Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional giro dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6.      Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Ketiga : Ketentuan Umum Giro berdasarkan Wadi’ah:
1.      Bersifat titipan.
2.      Titipan bisa diambil kapan saja (on call).
3.      Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 26 Dzulhijjah 1420 H / 1 April 2000 M


02 - Tabungan
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 02/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
TABUNGAN
Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG TABUNGAN

Pertama : Tabungan ada dua jenis:
1.      Tabungan yang tidak dibenarkan secara syariah, yaitu tabungan yang berdasarkan perhitungan bunga.
2.      Tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadiah.

Kedua : Ketentuan Umum Tabungan berdasarkan Mudharabah:
1.      Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2.      Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3.      Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
4.      Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5.      Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional tabungan dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6.      Bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Ketiga : Ketentuan Umum Tabungan berdasarkan Wadiah:
1.      Bersifat simpanan.
2.      Simpanan bisa diambil kapan saja (on call) atau berdasarkan kesepakatan.
3.      Tidak ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.


Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 26 Dzulhijjah 1420 H / 1 April 2000 M

03 - Deposito
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 03/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
DEPOSITO
Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG TABUNGAN

Pertama : Tabungan ada dua jenis:
1.      Deposito yang tidak dibenarkan secara syari’ah, yaitu Deposito yang berdasarkan perhitungan bunga.
2.      Deposito yang dibenarkan, yaitu Deposito yang berdasarkan prinsip Mudharabah.

Kedua : Ketentuan Umum Tabungan berdasarkan Mudharabah:
1.      Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul maal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
2.      Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, bank dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya, termasuk di dalamnya mudharabah dengan pihak lain.
3.      Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya, dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
4.      Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukaan rekening.
5.      Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
6.      Bank tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah keuntungan nasabah tanpa persetujuan yang bersangkutan.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 26 Dzulhijjah 1420 H / 1 April 2000 M


04 - Murabahah
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 04/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
MURABAHAH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG MURABAHAH

Pertama : Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syari’ah:
1.      Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
2.      Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariah Islam.
3.      Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya.
4.      Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
5.      Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara hutang.
6.      Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
7.      Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
8.      Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9.      Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, menjadi milik bank.

Kedua : Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:
1.      Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank.
2.      Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
3.      Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli.
4.      Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
5.      Jika nasabah kemudian menolak membeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar dari uang muka tersebut.
6.      Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditanggung oleh bank, bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
7.      Jika uang muka memakai kontrak urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka
a. jika nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga.
b. jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

Ketiga : Jaminan dalam Murabahah:
1.      Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.
2.      Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

Keempat : Hutang dalam Murabahah:
1.      Secara prinsip, penyelesaian hutang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan hutangnya kepada bank.
2.      Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
3.      Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan hutangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.

Kelima : Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:
1.      Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian hutangnya.
2.      Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Keenam : Bangkrut dalam Murabahah:
Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, bank harus menunda tagihan hutang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 26 Dzulhijjah 1420 H / 1 April 2000 M

05 - Jual Beli Salam
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 05/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
JUAL BELI SALAM

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI SALAM

Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran:
1.      Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
2.      Pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati.
3.      Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.

Kedua : Ketentuan tentang Barang:
1.      Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2.      Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3.      Penyerahannya dilakukan kemudian.
4.      Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5.      Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6.      Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.

Ketiga : Ketentuan tentang Salam Paralel (…):
Dibolehkan melakukan salam paralel dengan syarat:
a. Akad kedua terpisah dari akad pertama, dan
b. Akad kedua dilakukan setelah akad pertama sah.

Keempat : Penyerahan Barang Sebelum atau pada Waktunya:
1.      Penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati.
2.      Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga.
3.      Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas yang lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka ia tidak boleh menuntut pengurangan harga (diskon).
4.      Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan, dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.
5.      Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu penyerahan, atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, maka ia memiliki dua pilihan:
a. membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya,
b. menunggu sampai barang tersedia.

Kelima : Pembatalan Kontrak:
Pada dasarnya pembatalan salam boleh dilakukan, selama tidak merugikan kedua belah pihak.

Keenam : Perselisihan:
Jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.


Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 29 Dzulhijjah 1420 H / 4 April 2000 M


06 - Jual Beli Istishna'
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 06/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
JUAL BELI ISTISHNA'

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI ISTISHNA'

Pertama : Ketentuan tentang Pembayaran:
1.      Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat.
2.      Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.
3.      Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang.

Kedua : Ketentuan tentang Barang:
1.      Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.
2.      Harus dapat dijelaskan spesifikasinya.
3.      Penyerahannya dilakukan kemudian.
4.      Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5.      Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.
6.      Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
7.      Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan memiliki hak khiyar (hak memilih) untuk melanjutkan atau membatalkan akad.

Ketiga : Ketentuan Lain:
  1. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.
  2. Semua ketentuan dalam jual beli salam yang tidak disebutkan di atas berlaku pula pada jual beli istishna’.
  3. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.


Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 29 Dzulhijjah 1420 H / 4 April 2000 M


07 - Pembiayaan Mudharabah
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 07/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH)

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH)

Pertama : Ketentuan Pembiayaan:
1.      Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.
2.      Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.
3.      Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).
4.      Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syariah; dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5.      Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
6.      LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
7.      Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
8.      Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
9.      Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
10.  Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan.

Kedua : Rukun dan Syarat Pembiayaan:
1.      Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2.      Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3.      Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4.      Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keun-tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5.      Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syariah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudhara-bah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.

Ketiga : Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan:
1.      Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
2.      Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi.
3.      Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
4.      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 29 Dzulhijjah 1420 H / 4 April 2000 M


08 - Pembiayaan Musyarakah
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 08/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
PEMBIAYAAN MUSYARAKAH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN MUSYARAKAH

Pertama : Beberapa Ketentuan:
1.      Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a.       Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b.      Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c.       Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

2.      Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut:
a.       Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
b.      Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
c.       Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
d.      Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
e.       Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
3.      Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
a.       Modal
                                            i.            Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama.
Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.
                                          ii.            Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
                                        iii.            Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.


b.      Kerja
                                            i.            Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
                                          ii.            Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
c.       Keuntungan
                                            i.            Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.
                                          ii.            Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
                                        iii.            Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya.
                                        iv.            Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
d.      Kerugian
Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
4.      Biaya Operasional dan Persengketaan
a.       Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.
b.      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 08 Muharram 1421 H / 13 April 2000 M

09 - Pembiayaan Ijarah
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 09/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
PEMBIAYAAN IJARAH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN IJARAH

Pertama : Rukun dan Syarat Ijarah:
1.      Sighat Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain.
2.      Pihak-pihak yang berakad (berkontrak): terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa, dan penyewa/pengguna jasa.
3.      Obyek akad Ijarah, yaitu:
a.       manfaat barang dan sewa; atau
b.      manfaat jasa dan upah.

Kedua : Ketentuan Obyek Ijarah:
1.      Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2.      Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
3.      Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
4.      Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
5.      Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah(ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
6.      Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7.      Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga (tsaman) dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam Ijarah.
8.      Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
9.      Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
Ketiga: Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah:
  1. Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa:
    1. Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan
    2. Menanggung biaya pemeliharaan barang.
    3. Menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
  2. Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa:
    1. Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan barang serta menggunakannya sesuai akad (kontrak).
    2. Menanggung biaya pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil).
    3. Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
Keempat :
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.


Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 08 Muharram 1421 H / 13 April 2000 M

10 - Wakalah
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 10/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
WAKALAH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG WAKALAH

Pertama : Ketentuan tentang Wakalah:
  1. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
  2. Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
Kedua : Rukun dan Syarat Wakalah:
  1. Syarat-syarat muwakkil (yang mewakilkan)
    1. Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan.
    2. Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya.
  2. Syarat-syarat wakil (yang mewakili)
    1. Cakap hukum,
    2. Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya,
    3. Wakil adalah orang yang diberi amanat.
  3. Hal-hal yang diwakilkan
    1. Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili,
    2. Tidak bertentangan dengan syariah Islam,
    3. Dapat diwakilkan menurut syariah Islam.Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
Ketiga :
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 08 Muharram 1421 H / 13 April 2000 M

11 - Kafalah
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 11/DSN-MUI/IV/2000
Tentang KAFALAH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG KAFALAH

Pertama : Ketentuan Umum Kafalah:
1.      Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
2.      Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan.
3.      Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.

Kedua : Rukun dan Syarat Kafalah :
1.      Pihak Penjamin (Kafiil)
a.       Baligh (dewasa) dan berakal sehat.
b.      Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.
2.      Pihak Orang yang berhutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu)
a.       Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin.
b.      Dikenal oleh penjamin.
3.      Pihak Orang yang Berpiutang (Makfuul Lahu)
a.       Diketahui identitasnya.
b.      Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.
c.       Berakal sehat.
4.      Obyek Penjaminan (Makful Bihi)
a.       Merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang, baik berupa uang, benda, maupun pekerjaan.
b.      Bisa dilaksanakan oleh penjamin.
c.       Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.
d.      Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.
e.       Tidak bertentangan dengan syariah (diharamkan).

Ketiga :
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 08 Muharram 1421 H / 13 April 2000 M
12 - Hawalah
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 12/DSN-MUI/IV/2000
Tentang
HAWALAH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG HAWALAH

Pertama : Ketentuan Umum Hawalah:
1.      Rukun hawalah adalah muhil (المحيل), yakni orang yang berhutang dan sekaligus berpiutang, muhal atau muhtal (المحال او المحتال), yakni orang berpiutang kepada muhil, muhal alaih (المحال عليه), yakni orang yang berhutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal, muhal bih (المحال به), yakni hutang muhil kepada muhtal, dan sighat(ijab-qabul).
2.      Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
3.      Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern.
4.      Hawalah dilakukan harus dengan persetujuan muhil, muhal/muhtal, dan muhal alaih.
5.      Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
6.      Jika transaksi hawalah telah dilakukan, pihak-pihak yang terlibat hanyalah muhtal dan muhal alaih; dan hak penagihan muhal berpindah kepada muhal alaih.

Kedua:
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.


Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 08 Muharram 1421 H / 13 April 2000 M

13 - Uang Muka Dalam Murabahah
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 13/DSN-MUI/IX/2000
Tentang
UANG MUKA DALAM MURABAHAH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG UANG MUKA DALAM MURABAHAH

Pertama : Ketentuan Umum Uang Muka:
  1. Dalam akad pembiayaan murabahah, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dibolehkan untuk meminta uang muka apabila kedua belah pihak bersepakat.
  2. Besar jumlah uang muka ditentukan berdasarkan kesepakatan.
  3. Jika nasabah membatalkan akad murabahah, nasabah harus memberikan ganti rugi kepada LKS dari uang muka tersebut.
  4. Jika jumlah uang muka lebih kecil dari kerugian, LKS dapat meminta tambahan kepada nasabah.
  5. Jika jumlah uang muka lebih besar dari kerugian, LKS harus mengembalikan kelebihannya kepada nasabah.

Kedua:
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Ketiga
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 17 Jumadil Akhir 1421 H / 16 September 2000 M

14 - Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam LKS
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 14/DSN-MUI/IX/2000
Tentang
SISTEM DISTRIBUSI HASIL USAHA DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARI'AH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG SISTEM DISTRIBUSI HASIL USAHA DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARI'AH
Pertama : Ketentuan Umum:
1.      Pada prinsipnya, LKS boleh menggunakan sistem Accrual Basis maupun Cash Basis dalam administrasi keuangan.
2.      Dilihat dari segi kemaslahatan (al-ashlah), dalam pencatatan sebaiknya digunakan sistem Accrual Basis; akan tetapi, dalam distribusi hasil usaha hendaknya ditentukan atas dasar penerimaan yang benar-benar terjadi (Cash Basis).
3.      Penetapan sistem yang dipilih harus disepakati dalam akad.

Kedua:
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Ketiga
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 17 Jumadil Akhir 1421 H / 16 September 2000 M

15 - Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam LKS
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 15/DSN-MUI/IX/2000
Tentang
PRINSIP DISTRIBUSI HASIL USAHA DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARI'AH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG PRINSIP DISTRIBUSI HASIL USAHA DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARI'AH

Pertama : Ketentuan Umum:
  1. Pada dasarnya, LKS boleh menggunakan prinsip Bagi Hasil (Net Revenue Sharing) maupun Bagi Untung (Profit Sharing) dalam pembagian hasil usaha dengan mitra (nasabah)-nya.
  2. Dilihat dari segi kemaslahatan (al-ashlah), saat ini, pembagian hasil usaha sebaiknya digunakan prinsip Bagi Hasil (Net Revenue Sharing).
  3. Penetapan prinsip pembagian hasil usaha yang dipilih harus disepakati dalam akad.

Kedua:
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Ketiga
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 17 Jumadil Akhir 1421 H / 16 September 2000 M

16 - Diskon Dalam Murabahah
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 16/DSN-MUI/IX/2000
Tentang
DISKON DALAM MURABAHAH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG DISKON DALAM MURABAHAH

Pertama : Ketentuan Umum:
1.      Harga (tsaman) dalam jual beli adalah suatu jumlah yang disepakati oleh kedua belah pihak, baik sama dengan nilai (qmah) benda yang menjadi obyek jual beli, lebih tinggi maupun lebih rendah.
2.      Harga dalam jual beli murabahah adalah harga beli dan biaya yang diperlukan ditambah keuntungan sesuai dengan kesepakatan.
3.      Jika dalam jual beli murabahah LKS mendapat diskon dari supplier, harga sebenarnya adalah harga setelah diskon; karena itu, diskon adalah hak nasabah.
4.      Jika pemberian diskon terjadi setelah akad, pembagian diskon tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian (persetujuan) yang dimuat dalam akad.
5.      Dalam akad, pembagian diskon setelah akad hendaklah diperjanjikan dan ditandatangani.

Kedua:
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Ketiga
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 17 Jumadil Akhir 1421 H / 16 September 2000 M

17 - Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda Pembayaran
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 17/DSN-MUI/IX/2000
Tentang
SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN
Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN

Pertama : Ketentuan Umum:
1.      Sanksi yang disebut dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan LKS kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran dengan disengaja.
2.      Nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebabkan force majeur tidak boleh dikenakan sanksi.
3.      Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi.
4.      Sanksi didasarkan pada prinsip ta'zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.
5.      Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.
6.      Dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial.

Kedua:
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Ketiga
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 17 Jumadil Akhir 1421 H / 16 September 2000 M

18 - Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam LKS
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 18/DSN-MUI/IX/2000
Tentang
PENCADANGAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARI'AH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG PENCADANGAN PENGHAPUSAN AKTIVA PRODUKTIF DALAM LEMBAGA KEUANGAN SYARI'AH

Pertama : Ketentuan Umum:
  1. Pencadangan boleh dilakukan oleh LKS.
  2. Dana yang digunakan untuk pencadangan diambil dari bagian keuntungan yang menjadi hak LKS sehingga tidak merugikan nasabah.
  3. Dalam perhitungan pajak, LKS boleh mencadangkan dari seluruh keuntungan.
  4. Dalam kaitan dengan pembagian keuntungan, pencadangan hanya boleh berasal dari bagian keuntungan yang menjadi hak LKS.

Kedua:
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Ketiga
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 17 Jumadil Akhir 1421 H / 16 September 2000 M

19 - Al-Qardh
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 19/DSN-MUI/IV/2001
Tentang AL-QARDH
Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG AL-QARDH

Pertama : Ketentuan Umum al-Qardh
1.      Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.
2.      Nasabah al-Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama.
3.      Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah.
4.      LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu.
5.      Nasabah al-Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad.
6.      Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan ketidakmampuannya, LKS dapat:
a.       memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau
b.      menghapus (write off) sebagian atau seluruh kewajibannya.

Kedua: Sanksi
1.      Dalam hal nasabah tidak menunjukkan keinginan mengem-balikan sebagian atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, LKS dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah.
2.      Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah sebagaimana dimaksud butir 1 dapat berupa --dan tidak terbatas pada-- penjualan barang jaminan.
3.      Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi kewajibannya secara penuh.

Ketiga: Sumber Dana
Dana al-Qardh dapat bersumber dari:
  1. Bagian modal LKS;
  2. Keuntungan LKS yang disisihkan; dan
  3. Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepada LKS.

Keempat :
  1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 24 Muharram 1422 H / 18 April 2001 M
20 - Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksadana Syariah
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 20/DSN-MUI/IV/2001
Tentang
PEDOMAN PELAKSANAAN INVESTASI UNTUK REKSA DANA SYARI'AH
Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN INVESTASI UNTUK REKSA DANA SYARI'AH

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
1.      Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan kembali dalam portofolio efek oleh Manajer Investasi.
2.      Portofolio Efek adalah kumpulan efek yang dimiliki secara bersama (kolektif) oleh para pemodal dalam Reksa Dana.
3.      Manajer Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya mengelola Portofolio Efek untuk para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah.
4.      Emiten adalah perusahaan yang menerbitkan Efek untuk ditawarkan kepada publik.
5.      Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti utang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek.
6.      Reksa Dana Syari'ah adalah Reksa Dana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip Syari'ah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (sahib al-mal/ Rabb al Mal) dengan Manajer Investasi sebagai wakil shahib al-mal, maupun antara Manajer Investasi sebagai wakil shahib al-mal dengan pengguna investasi.
7.      Mudharabah/qiradadalah suatu akad atau sistem di mana seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dikelola dengan ketentuan bahwa keuntungan yang diperoleh (dari hasil pengelolaan tersebut) dibagi antara kedua pihak, sesuai dengan syarat-syarat yang disepakati oleh kedua belah pihak, sedangkan kerugian ditanggung oleh shahib al-mal sepanjang tidak ada kelalaian dari mudharib.
8.      Prospektus adalah setiap informasi tertulis sehubungan dengan Penawaran Umum dengan tujuan agar pihak lain membeli Efek.
9.      Bank Kustodian adalah pihak yang kegiatan usahanya adalah memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk menerima deviden, dan hak-hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.

BAB II
MEKANISME KEGIATAN REKSA DANA SYARI'AH

Pasal 2
  1. Mekanisme operasional dalam Reksa Dana Syari'ah terdiri atas:
    1. antara pemodal dengan Manajer Investasi dilakukan dengan sistem wakalah, dan
    2. antara Manajer Investasi dan pengguna investasi dilakukan dengan sistem mudharabah.
  2. Karakteristik sistem mudarabah adalah:
    1. Pembagian keuntungan antara pemodal (sahib al-mal) yang diwakili oleh Manajer Investasi dan pengguna investasi berdasarkan pada proporsi yang telah disepakati kedua belah pihak melalui Manajer Investasi sebagai wakil dan tidak ada jaminan atas hasil investasi tertentu kepada pemodal.
    2. Pemodal hanya menanggung resiko sebesar dana yang telah diberikan.
    3. Manajer Investasi sebagai wakil tidak menanggung resiko kerugian atas investasi yang dilakukannya sepanjang bukan karena kelalaiannya (gross negligence/ tafrith).

BAB III
HUBUNGAN, HAK, DAN KEWAJIBAN

Pasal 3
Hubungan dan Hak Pemodal
  1. Akad antara Pemodal dengan Manajer Investasi dilakukan secara wakalah.
  2. Dengan akad wakalah sebagaimana dimaksud ayat 1, pemodal memberikan mandat kepada Manajer Investasi untuk melaksanakan investasi bagi kepentingan Pemodal, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Prospektus.
  3. Para pemodal secara kolektif mempunyai hak atas hasil investasi dalam Reksa Dana Syari'ah.
  4. Pemodal menanggung risiko yang berkaitan dalam Reksa Dana Syari'ah.
  5. Pemodal berhak untuk sewaktu-waktu menambah atau menarik kembali penyertaannya dalam Reksa Dana Syari'ah melalui Manajer Investasi.
  6. Pemodal berhak atas bagi hasil investasi sampai saat ditariknya kembali penyertaan tersebut.
  7. Pemodal yang telah memberikan dananya akan mendapatkan jaminan bahwa seluruh dananya akan disimpan, dijaga, dan diawasi oleh Bank Kustodian.
  8. Pemodal akan mendapatkan bukti kepemilikan yang berupa Unit Penyertaan Reksa Dana Syariah.

Pasal 4
Hak dan Kewajiban Manajer Investasi dan Bank Kustodian
  1. Manajer Investasi berkewajiban untuk melaksanakan investasi bagi kepentingan Pemodal, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Prospektus.
  2. Bank Kustodian berkewajiban menyimpan, menjaga, dan mengawasi dana Pemodal dan menghitung Nilai Aktiva Bersih per-Unit Penyertaan dalam Reksa Dana Syariah untuk setiap hari bursa.
  3. Atas pemberian jasa dalam pengelolaan investasi dan penyimpanan dana kolektif tersebut, Manajer Investasi dan Bank Kustodian berhak memperoleh imbal jasa yang dihitung atas persentase tertentu dari Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syari'ah.
  4. Dalam hal Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian tidak melaksanakan amanat dari Pemodal sesuai dengan mandat yang diberikan atau Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian dianggap lalai (gross negligence/tafrith), maka Manajer Investasi dan/atau Bank Kustodian bertanggung jawab atas risiko yang ditimbulkannya.
Pasal 5
Tugas dan Kewajiban Manajer Investasi
Manajer Investasi berkewajiban untuk:
  1. Mengelola portofolio investasi sesuai dengan kebijakan investasi yang tercantum dalam kontrak dan Prospektus;
  2. Menyusun tata cara dan memastikan bahwa semua dana para calon pemegang Unit Penyertaan disampaikan kepada Bank Kustodian selambat-lambatnya pada akhir hari kerja berikutnya;
  3. Melakukan pengembalian dana Unit Penyertaan; dan
  4. Memelihara semua catatan penting yang berkaitan dengan laporan keuangan dan pengelolaan Reksa Dana sebagaimana ditetapkan oleh instansi yang berwenang.
Pasal 6
Tugas dan Kewajiban Bank Kustodian
Bank Kustodian berkewajiban untuk:
  1. Memberikan pelayanan Penitipan Kolektif sehubungan dengan kekayaan Reksa Dana;
  2. Menghitung nilai aktiva bersih dari Unit Penyertaan setiap hari bursa;
  3. Membayar biaya-biaya yang berkaitan dengan Reksa Dana atas perintah Manajer Investasi;
  4. Menyimpan catatan secara terpisah yang menunjukkan semua perubahan dalam jumlah Unit Penyertaan, jumlah Unit Penyertaan, serta nama, kewarganegaraan, alamat, dan indentitas lainnya dari para pemodal;
  5. Mengurus penerbitan dan penebusan dari Unit Penyertaan sesuai dengan kontrak;
  6. Memastikan bahwa Unit Penyertaan diterbitkan hanya atas penerimaan dana dari calon pemodal.



BAB IV
PEMILIHAN DAN PELAKSANAAN INVESTASI

Pasal 7
Jenis dan Instrumen Investasi
1.      Investasi hanya dapat dilakukan pada instrumen keuangan yang sesuai dengan Syari'ah Islam.
2.      Instrumen keuangan yang dimaksud ayat 1 meliputi:
a.       Instrumen saham yang sudah melalui penawaran umum dan pembagian dividen didasarkan pada tingkat laba usaha;
b.      Penempatan dalam deposito pada Bank Umum Syariah;
c.       Surat hutang jangka panjang yang sesuai dengan prinsip Syari’ah;
Pasal 8
Jenis Usaha Emiten
1.      Investasi hanya dapat dilakukan pada efek-efek yang diterbitkan oleh pihak (Emiten) yang jenis kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan Syari'ah Islam.
2.      Jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan Syari'ah Islam, antara lain, adalah:
a.       Usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang;
b.      Usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional;
c.       Usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman yang haram;
d.      Usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan/atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.
Pasal 9
Jenis Transaksi yang Dilarang
1.      Pemilihan dan pelaksanaan transaksi investasi harus dilaksanakan menurut prinsip kehati-hatian (prudential management/ihtiyath), serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi yang di dalamnya mengandung unsur gharar.
2.      Tindakan yang dimaksud ayat 1 meliputi:
a.       Najsy, yaitu melakukan penawaran palsu;
b.      Bai al-Ma’dumyaitu melakukan penjualan atas barang yang belum dimiliki (short selling);
c.       Insider trading yaitu menyebarluaskan informasi yang menyesatkan atau memakai informasi orang dalam untuk memperoleh keuntungan transaksi yang dilarang;
d.      Melakukan investasi pada perusahaan yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutangnya lebih dominan dari modalnya.
Pasal 10
Kondisi Emiten yang Tidak Layak
Suatu Emiten tidak layak diinvestasikan oleh Reksa Dana Syariah:
a.       apabila struktur hutang terhadap modal sangat bergantung kepada pembiayaan dari hutang yang pada intinya merupakan pembiayaan yang mengandung unsur riba;
b.      apabila suatu emiten memiliki nisbah hutang terhadap modal lebih dari 82% (hutang 45%, modal 55%
c.       apabila manajemen suatu perusahaan diketahui telah bertindak melanggar prinsip usaha yang Islami.
BAB V
PENENTUAN DAN PEMBAGIAN HASIL INVESTASI

Pasal 11
  1. Hasil investasi yang diterima dalam harta bersama milik pemodal dalam Reksa Dana Syari'ah akan dibagikan secara proporsional kepada para pemodal.
  2. Hasil investasi yang dibagikan harus bersih dari unsur non-halal, sehingga Manajer Investasi harus melakukan pemisahan bagian pendapatan yang mengandung unsur non-halal dari pendapatan yang diyakini halal (tafriq al-halal min al-haram).
  3. Penghasilan investasi yang dapat diterima oleh Reksa Dana Syari'ah adalah:
    1. Dari saham dapat berupa:
      • Dividen yang merupakan bagi hasil atas keuntungan yang dibagikan dari laba yang dihasilkan emiten, baik dibayarkan dalam bentuk tunai maupun dalam bentuk saham.
      • Rights yang merupakan hak untuk memesan efek lebih dahulu yang diberikan oleh emiten.
      • Capital gain yang merupakan keuntungan yang diperoleh dari jual-beli saham di pasar modal.
    2. Dari Obligasi yang sesuai dengan syari’ah dapat berupa:
      • Bagi hasil yang diterima secara periodik dari laba emiten.
    3. Dari Surat Berharga Pasar Uang yang sesuai dengan syari’ah dapat berupa:
      • Bagi hasil yang diterima dari issuer.
    4. Dari Deposito dapat berupa:
      • Bagi hasil yang diterima dari bank-bank Syari'ah.
  4. Perhitungan hasil investasi yang dapat diterima oleh Reksa Dana Syari'ah dan hasil investasi yang harus dipisahkan dilakukan oleh Bank Kustodian dan setidak-tidaknya setiap tiga bulan dilaporkan kepada Manajer Investasi untuk kemudian disampaikan kepada para pemodal dan Dewan Syari'ah Nasional.
  5. Hasil investasi yang harus dipisahkan yang berasal dari non halal akan digunakan untuk kemaslahatan umat yang penggunaannya akan ditentukan kemudian oleh Dewan Syari'ah Nasional serta dilaporkan secara transparan.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 12
  1. Hal-hal yang belum diatur dalam Pedoman Pelaksanaan ini akan diatur kemudian oleh Dewan Syari'ah Nasional.
  2. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  3. Surat Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 24 Muharram 1422 H / 18 April 2001 M

21 - Pedoman Umum Asuransi Syariah
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 21/DSN-MUI/X/2001
Tentang PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARI’AH
Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARI’AH

Pertama : Ketentuan Umum
1.      Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan / atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah.
2.      Akad yang sesuai dengan syariah yang dimaksud pada point (1) adalah yang tidak mengandung gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
3.      Akad tijarahadalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial.
4.      Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.
5.      Premi adalah kewajiban peserta Asuransi untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
6.      Klaim adalah hak peserta Asuransi yang wajib diberikan oleh perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
Kedua: Akad dalam Asuransi
1.      Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan / atau akad tabarru'.
2.      Akad tijarahyang dimaksud dalam ayat (1) adalah mudharabah. Sedangkan akad tabarru’ adalah hibah.
3.      Dalam akad, sekurang-kurangnya harus disebutkan :
a.       hak & kewajiban peserta dan perusahaan;
b.      cara dan waktu pembayaran premi;
c.       jenis akad tijarah dan / atau akad tabarru’ serta syarat-syarat yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
Ketiga: Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’
1.      Dalam akad tijarah(mudharabah), perusahaan bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan peserta bertindak sebagai shahibul mal (pemegang polis);
2.      Dalam akad tabarru’ (hibah), peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Sedangkan perusahaan bertindak sebagai pengelola dana hibah.

Keempat : Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’
1.      Jenis akad tijarah dapat diubah menjadi jenis akad tabarru' bila pihak yang tertahan haknya, dengan rela melepaskan haknya sehingga menggugurkan kewajiban pihak yang belum menunaikan kewajibannya.
2.      Jenis akad tabarru' tidak dapat diubah menjadi jenis akad tijarah.
Kelima : Jenis Asuransi dan Akadnya
1.      Dipandang dari segi jenis asuransi itu terdiri atas asuransi kerugian dan asuransi jiwa.
2.      Sedangkan akad bagi kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah.

Keenam : Premi
1.      Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan jenis akad tabarru'.
2.      Untuk menentukan besarnya premi perusahaan asuransi syariah dapat menggunakan rujukan, misalnya tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam penghitungannya.
3.      Premi yang berasal dari jenis akad mudharabah dapat diinvestasikan dan hasil investasinya dibagi-hasilkan kepada peserta.
4.      Premi yang berasal dari jenis akad tabarru' dapat diinvestasikan.

Ketujuh : Klaim
1.      Klaim dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
2.      Klaim dapat berbeda dalam jumlah, sesuai dengan premi yang dibayarkan.
3.      Klaim atas akad tijarah sepenuhnya merupakan hak peserta, dan merupakan kewajiban perusahaan untuk memenuhinya.
4.      Klaim atas akad tabarru', merupakan hak peserta dan merupakan kewajiban perusahaan, sebatas yang disepakati dalam akad.

Kedelapan : Investasi
1.      Perusahaan selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul.
2.      Investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.

Kesembilan : Reasuransi
 Asuransi syariah hanya dapat melakukan reasuransi kepada perusahaan reasuransi yang berlandaskan prinsip syari'ah.

Kesepuluh : Pengelolaan
1.      Pengelolaan asuransi syariah hanya boleh dilakukan oleh suatu lembaga yang berfungsi sebagai pemegang amanah.
2.      Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh bagi hasil dari pengelolaan dana yang terkumpul atas dasar akad tijarah (mudharabah).
3.      Perusahaan Asuransi Syariah memperoleh ujrah (fee) dari pengelolaan dana akad tabarru’ (hibah).

Kesebelas : Ketentuan Tambahan
1.      Implementasi dari fatwa ini harus selalu dikonsultasikan dan diawasi oleh DPS.
2.      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
3.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 17 Oktober 2001

22 - Jual Beli Istishna' Paralel
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 22/DSN-MUI/III/2002
Tentang
JUAL BELI ISTISHNA PARALEL
Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI ISTISHNA PARALEL

Pertama : Ketentuan Umum
1.      Jika LKS melakukan transaksi Istishna’, untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah ia dapat melakukan istishna’ lagi dengan pihak lain pada obyek yang sama, dengan syarat istishna’ pertama tidak bergantung (mu’allaq) pada istishna’ kedua.
2.      LKS selaku mustashni’ tidak diperkenankan untuk memungut MDC (margin during construction) dari nasabah (shani’) karena hal ini tidak sesuai dengan prinsip syariah.
3.      Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad Istishna’ (Fatwa DSN nomor 06/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula dalam Istishna’ Paralel.

Kedua : Ketentuan Lain
1.      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 14 Muharram 1423 H / 28 Maret 2002 M

23 - Potongan Pelunasan dalam Murabahah

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 23/DSN-MUI/III/2002
Tentang
POTONGAN PELUNASAN DALAM MURABAHAH
Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG POTONGAN PELUNASAN DALAM MURABAHAH

Pertama : Ketentuan Umum
1.      Jika nasabah dalam transaksi murabahah melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih cepat dari waktu yang telah disepakati, LKS boleh memberikan potongan dari kewajiban pembayaran tersebut, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad
2.      Besar potongan sebagaimana dimaksud di atas diserahkan pada kebijakan dan pertimbangan LKS.
Kedua : Ketentuan Lain

Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 14 Muharram 1423 H / 28 Maret 2002 M

24 - Safe Deposit Box
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 24/DSN-MUI/III/2002
Tentang
SAFE DEPOSIT BOX
Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG SAFE DEPOSIT BOX

Pertama :
1.      Berdasarkan sifat dan karakternya, Safe Deposit Box dilakukan dengan menggunakan akad Ijarah (sewa).
2.      Rukun dan syarat Ijarah dalam praktek SDB merujuk pada fatwa DSN No.9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
3.      Barang-barang yang dapat disimpan dalam SDB adalah barang yang berharga yang tidak diharamkan dan tidak dilarang oleh negara.
4.      Besar biaya sewa ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
5.      Hak dan kewajiban pemberi sewa dan penyewa ditentukan berdasarkan kesepakatan sepanjang tidak bertentangan dengan rukun dan syarat Ijarah.

Kedua :

Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 14 Muharram 1423 H / 28 Maret 2002 M

25 - Rahn
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 25/DSN-MUI/III/2002
Tentang RAHN

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG RAHN

Pertama : HUKUM
1.      Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan hutang dalam bentuk Rahn dibolehkan dengan ketentuan sebagai berikut.

Kedua : Ketentuan Umum
1.      Murtahin(penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua hutang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.
2.      Marhundan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhuntidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.
3.      Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.
4.      Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5.      Penjualan Marhun
a.       Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi hutangnya.
b.      Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka Marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
c.       Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan
d.      Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.

Ketiga : Ketentuan Penutup
  1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 15 Rabiul Akhir 1423 H / 26 Juni 2002 M

26 - Rahn Emas

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 26/DSN-MUI/III/2002
Tentang
RAHN EMAS

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG RAHN EMAS

Pertama :
1.      Rahn Emas dibolehkan berdasarkan prinsip Rahn (lihat Fatwa DSN nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn).
2.      Ongkos dan biaya penyimpanan barang (marhun) ditanggung oleh penggadai (rahin).
3.      Ongkos sebagaimana dimaksud ayat 2 besarnya didasarkan pada pengeluaran yang nyata-nyata diperlukan.
4.      Biaya penyimpanan barang (marhun) dilakukan berdasarkan akad Ijarah.

Kedua :
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 14 Muharram 1423 H / 28 Maret 2002 M

27 - Al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 27/DSN-MUI/III/2002
Tentang
AL-IJARAH AL-MUNTAHIYAH BI AL-TAMLIK

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG AL-IJARAH AL-MUNTAHIYAH BI AL-TAMLIK

Pertama : Ketentuan Umum:

Akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik boleh dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
1.      Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad Ijarah (Fatwa DSN nomor: 09/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula dalam akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.
2.      Perjanjian untuk melakukan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik harus disepakati ketika akad Ijarah ditandatangani.
3.      Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.

Kedua : Ketentuan tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik
1.      Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
2.      Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa'd (الوعد), yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.

Ketiga :
1.      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 14 Muharram 1423 H / 28 Maret 2002 M

28 - Jual Beli Mata Uang

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 28/DSN-MUI/III/2002
Tentang JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF)

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF)

Pertama : Ketentuan Umum:
Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)
b.      Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
c.       Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh).
d.      Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.

Kedua : Jenis-jenis Transaksi Valuta Asing
a.       Transaksi Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing (valas) untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihindari (ِÙ…َّما لاَ ُبَّد Ù…ِÙ†ْÙ‡ُ) dan merupakan transaksi internasional.
b.      Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa'adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati, kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah).
c.       Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir(spekulasi).
d.      Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi).

Ketiga :
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 14 Muharram 1423 H / 28 Maret 2002 M
29 - Pembiayaan Pengurusan Haji LKS
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 29/DSN-MUI/VI/2002
Tentang
PEMBIAYAAN PENGURUSAN HAJI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN PENGURUSAN HAJI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH

Pertama : Ketentuan Umum:
1.      Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan menggunakan prinsip al-Ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000.
2.      Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
3.      Jasa pengurusan haji yang dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan pemberian talangan haji.
4.      Besar imbalan jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-Qardhyang diberikan LKS kepada nasabah.

Kedua : Ketentuan Penutup
  1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui badan arbitrase syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 15 Rabiul Akhir 1423 H / 26 Juni 2002 M

30 - Pembiayaan Rekening Koran Syariah

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 30/DSN-MUI/VI/2002
Tentang
PEMBIAYAAN REKENING KORAN SYARIAH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN REKENING KORAN SYARI’AH

Pertama : Ketentuan Umum:
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
a.       Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) adalah suatu bentuk pembiayaan rekening koran yang dijalankan berdasarkan prinsip syari’ah;
b.      Wa’d(الوعد) adalah kesepakatan atau janji dari satu pihak (LKS) kepada pihak lain (nasabah) untuk melaksanakan sesuatu;
c.       Wakalahadalah pelimpahan kekuasaan dari satu pihak (LKS) kepada pihak lain (nasabah) untuk melakukan akad (transaksi) tertentu yang diperlukan oleh nasabah;
d.      Akadadalah transaksi atau perjanjian syar’i yang menimbulkan hak dan kewajiban.

Kedua : Ketentuan Akad
1.      Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) dilakukan dengan wa’d untuk wakalah dalam melakukan:
a.       pembelian barang yang diperlukan oleh nasabah dan menjualnya secara murabahah kepada nasabah tersebut; atau
b.      menyewa (ijarah)/mengupah barang/jasa yang diperlukan oleh nasabah dan menyewakannya lagi kepada nasabah tersebut.
2.      Besar keuntungan (ribh) yang diminta oleh LKS dalam angka 1 huruf adan besar sewa dalam ijarah kepada nasabah sebagaimana dimaksud dalam angka 1huruf b harus disepakati ketika wa’d dilakukan.
3.      Transaksi murabahah kepada nasabah sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf a dan ijarah kepada nasabah sebagaimana dimaksud dalam angka 1huruf b harus dilakukan dengan akad.
4.      Fatwa DSN nomor: 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah, Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, dan Fatwa DSN nomor: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Ijarah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) sebagaimana dimaksud dalam angka 1, 2, dan 3.
5.      Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) dapat dilakukan pula dengan wa’d untuk memberikan fasilitas pinjaman al-Qardh.
6.      Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) sebagaimana dimaksud dalam angka 5.
7.      Dalam menggunakan transaksi Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) sebagaimana dimaksud angka 1, 2, dan 3, penarikan dana tidak boleh dilakukan secara langsung oleh nasabah.

Ketiga : Ketentuan Penutup
  1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 15 Rabiul Akhir 1423 H / 26 Juni 2002 M

31 - Pengalihan Hutang

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 31/DSN-MUI/VI/2002
Tentang
PENGALIHAN HUTANG

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG PENGALIHAN HUTANG

Pertama : Ketentuan Umum:
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
a.       Pengalihan hutang adalah pemindahan hutang nasabah dari bank/lembaga keuangan konvensional ke bank/lembaga keuangan syariah;
b.      Al-Qardhadalah akad pinjaman dari LKS kepada nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan pokok pinjaman yang diterimanya kepada LKS pada waktu dan dengan cara pengembalian yang telah disepakati.
c.       Nasabah adalah (calon) nasabah LKS yang mempunyai kredit (hutang) kepada Lembaga Keuangan Konvensional (LKK) untuk pembelian asset, yang ingin mengalihkan hutangnya ke LKS.
d.      Aset adalah aset nasabah yang dibelinya melalui kredit dari LKK dan belum lunas pembayan kreditnya.

Kedua : Ketentuan Akad
Akad dapat dilakukan melalui empat alternatif berikut:
  1. Alternatif I
    1. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (hutang)-nya; dan dengan demikian, asset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh (الملك التام).
    2. Nasabah menjual aset dimaksud angka 1 kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.
    3. LKS menjual secara murabahah aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.
    4. Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh dan Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Hutang sebagaimana dimaksud alternatif I ini.
  2. Alternatif II
    1. LKS membeli sebagian aset nasabah, dengan seizin LKK; sehingga dengan demikian, terjadilah syirkah al-milk antara LKS dan nasabah terhadap asset tersebut.
    2. Bagian asset yang dibeli oleh LKS sebagaimana dimaksud angka 1 adalah bagian asset yang senilai dengan hutang (sisa cicilan) nasabah kepada LKK.
    3. LKS menjual secara murabahah bagian asset yang menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan.
    4. Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Hutang sebagaimana dimaksud dalam alternatif II ini.
  3. Alternatif III
    1. Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh (الملك التام) atas aset, nasabah dapat melakukan akad Ijarah dengan LKS, sesuai dengan Fatwa DSN-MUI nomor 09/DSN-MUI/IV/2002.
    2. Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi kewajiban nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI nomor 19/DSN-MUI/IV/2001.
    3. Akad Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh dipersyaratkan dengan (harus terpisah dari) pemberian talangan sebagaimana dimaksudkan angka 2.
    4. Besar imbalan jasa Ijarah sebagaimana dimaksudkan angka 1 tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan yang diberikan LKS kepada nasabah sebagaimana dimaksudkan angka 2
  4. Alternatif IV
    1. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (hutang)-nya; dan dengan demikian, asset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh (الملك التام).
    2. Nasabah menjual aset dimaksud angka 1 kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.
    3. LKS menyewakan asset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.
    4. Fatwa DSN nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh dan Fatwa DSN nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik berlaku pula dalam pelaksanaan Pembiayaan Pengalihan Hutang sebagaimana dimaksud dalam alternatif IV ini.

Ketiga : Ketentuan Penutup
  1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 15 Rabiul Akhir 1423 H / 26 Juni 2002 M

32 - Obligasi Syariah

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 32/DSN-MUI/IX/2002
Tentang OBLIGASI SYARIAH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG OBLIGASI SYARIAH

Pertama : Ketentuan Umum:
1.      Obligasi yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang bersifat hutang dengan kewajiban membayar berdasarkan bunga;
2.      Obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah;
3.      Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.

Kedua : Ketentuan Khusus  
1.      Akad yang dapat digunakan dalam penerbitan obligasi syariah antara lain:
a.       Mudharabah (Muqaradhah)/ Qiradh
b.      Musyarakah
c.       Murabahah

d.      Salam
e.       Istishna
f.       Ijarah;

2.      Jenis usaha yang dilakukan Emiten (Mudharib) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memper-hatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;
3.      Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang Obligasi Syariah Mudha-rabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal;
4.      Pendapatan (hasil) yang diperoleh pemegang Obligasi Syariah sesuai akad yang digunakan;
5.      Pemindahan kepemilikan obligasi syariah mengikuti akad-akad yang digunakan.

Ketiga : Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Keempat : Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 06 Rajab 1423 H / 14 September 2002 M

33 - Obligasi Syariah Mudharabah

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 33/DSN-MUI/IX/2002
Tentang OBLIGASI SYARIAH MUDHARABAH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG OBLIGASI SYARIAH MUDHARABAH

Pertama : Ketentuan Umum:
1.      Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
2.      Obligasi Syariah Mudharabah adalah Obligasi Syariah yang berdasarkan akad Mudharabah dengan memperhatikan substansi Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 7/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudha-rabah.
3.      Emiten dalam Obligasi Syariah Mudharabah adalah Mudharib sedangkan pemegang Obligasi Syariah Mudharabah adalah Shahibul Mal.

Kedua : Ketentuan Khusus
1.      Akad yang digunakan dalam Obligasi Syariah Mudharabah adalah akad Mudharabah;
2.      Jenis usaha yang dilakukan Emiten (Mudharib) tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah;
3.      Pendapatan (hasil) investasi yang dibagikan Emiten (Mudharib) kepada pemegang Obligasi Syariah Mudha-rabah (Shahibul Mal) harus bersih dari unsur non halal;
4.      Nisbah keuntungan dalam Obligasi Syariah Mudharabah ditentukan sesuai kesepakatan, sebelum emisi (penerbitan) Obligasi Syariah Mudharabah;
5.      Pembagian pendapatan (hasil) dapat dilakukan secara periodik sesuai kesepakatan, dengan ketentuan pada saat jatuh tempo diperhitungkan secara keseluruhan;
6.      Pengawasan aspek syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional MUI, sejak proses emisi Obligasi Syariah Mudharabah dimulai;
7.      Apabila Emiten (Mudharib) lalai dan/atau melanggar syarat perjanjian dan/atau melampaui batas, Mudharib berkewajiban menjamin pengembalian dana Mudharabah, dan Shahibul Mal dapat meminta Mudharib untuk membuat surat pengakuan hutang;
8.      Apabila Emiten (Mudharib) diketahui lalai dan/atau melanggar syarat perjanjian dan/atau melampaui batas kepada pihak lain, pemegang Obligasi Syariah Mudharabah (Shahibul Mal) dapat menarik dana Obligasi Syariah Mudharabah;
9.      Kepemilikan Obligasi Syariah Mudharabah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama disepakati dalam akad.

Ketiga : Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Keempat : Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 06 Rajab 1423 H / 14 September 2002 M

34 - Letter of Credit (LC) Impor Syariah

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 34/DSN-MUI/IX/2002
Tentang LETTER OF CREDIT (L/C) IMPOR SYARIAH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG LETTER OF CREDIT (L/C) IMPOR SYARIAH

Pertama : Ketentuan Umum:
1.      Letter of Credit (L/C) Impor Syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada Eksportir yang diterbitkan oleh Bank untuk kepentingan Importir dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah.
2.      L/C Impor Syariah dalam pelaksanaannya menggunakan akad-akad: Wakalah bil Ujrah, Qardh, Murabahah, Salam/Istishna’, Mudharabah, Musyarakah, dan Hawalah.

Kedua : Ketentuan Akad
Akad untuk L/C Impor yang sesuai dengan syariah dapat digunakan beberapa bentuk:
1.      Akad Wakalah bil Ujrah dengan ketentuan:
a.       Importir harus memiliki dana pada bank sebesar harga pembayaran barang yang diimpor;
b.      Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor;
c.       Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.
2.      Akad Wakalah bil Ujrah dan Qardh dengan ketentuan:
a.       Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor;
b.      Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor;
c.       Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase;
d.      Bank memberikan dana talangan (qardh) kepada importir untuk pelunasan pembayaran barang impor.
3.      Akad Murabahah dengan ketentuan:
a.       Bank bertindak selaku pembeli yang mewakilkan kepada importir untuk melakukan transaksi dengan eksportir;
b.      Pengurusan dokumen dan pembayaran dilakukan oleh bank saat dokumen diterima (at sight) dan/atau tangguh sampai dengan jatuh tempo (usance);
c.       Bank menjual barang secara murabahah kepada importir, baik dengan pembayaran tunai maupun cicilan.
d.      Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank akan diperhitungkan sebagai harga perolehan barang.
4.      Akad Salam/Istishna’dan Murabahah, dengan ketentuan:
a.       Bank melakukan akad Salam atau Istishna’ dengan mewakilkan kepada importir untuk melakukan transaksi tersebut.
b.      Pengurusan dokumen dan pembayaran dilakukan oleh bank;
c.       Bank menjual barang secara murabahah kepada importir, baik dengan pembayaran tunai maupun cicilan.
d.      Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank akan diperhitungkan sebagai harga perolehan barang.
5.      Akad Wakalah bil Ujrah dan Mudharabah, dengan ketentuan:
a.       Nasabah melakukan akad wakalah bil ujrah kepada bank untuk melakukan pengurusan dokumen dan pembayaran.
b.      Bank dan importir melakukan akad Mudharabah, dimana bank bertindak selaku shahibul mal menyerahkan modal kepada importir sebesar harga barang yang diimpor.
6.      Akad Musyarakah dengan ketentuan:
Bank dan importir melakukan akad Musyarakah, dimana keduanya menyertakan modal untuk melakukan kegiatan impor barang.
7.      Dalam hal pengiriman barang telah terjadi, sedangkan pembayaran belum dilakukan, akad yang digunakan adalah:
Alternatif 1:
Wakalah bil Ujrah dan Qardh dengan ketentuan:
a.       Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor;
b.      Importir dan Bank melakukan akad Wakalah bil Ujrah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor;
c.       Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase;
d.      Bank memberikan dana talangan (qardh) kepada nasabah untuk pelunasan pembayaran barang impor.
Alternatif 2:
Wakalah bil Ujrah dan Hawalah dengan ketentuan:
e.       Importir tidak memiliki dana cukup pada bank untuk pembayaran harga barang yang diimpor;
f.       Importir dan Bank melakukan akad Wakalah untuk pengurusan dokumen-dokumen transaksi impor;
g.      Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase;
h.      Hutang kepada eksportir dialihkan oleh importir menjadi hutang kepada Bank dengan meminta bank membayar kepada eksportir senilai barang yang diimpor.

Ketentuan Penutup : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagai-mana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 06 Rajab 1423 H / 14 September 2002 M

35 - Letter of Credit (LC) Ekspor Syariah
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 35/DSN-MUI/IX/2002
Tentang
LETTER OF CREDIT (L/C) EKSPOR SYARIAH
Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG LETTER OF CREDIT (L/C) EKSPOR SYARIAH

Pertama : Ketentuan Umum:
1.      Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada Eksportir yang diterbitkan oleh Bank untuk memfasilitasi perdagangan ekspor dengan pemenuhan persyaratan tertentu sesuai dengan prinsip syariah.
2.      L/C Ekspor Syariah dalam pelaksanaannya meng-gunakan akad-akad: Wakalah bil Ujrah, Qardh, Mudharabah, Musyarakah dan Al-Bai.

Kedua : Ketentuan Akad:
Akad untuk L/C Ekspor yang sesuai dengan syariah dapat berupa:
1.      Akad Wakalah bil Ujrah dengan ketentuan:
a.       Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;
b.      Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuingbank), selanjutnya dibayarkan kepada eksportir setelah dikurangi ujrah;
c.       Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam prosentase.
2.      Akad Wakalah bil Ujrah dan Qardh dengan ketentuan:
a.       Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;
b.      Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuing bank);
c.       Bank memberikan dana talangan (Qardh) kepada nasabah eksportir sebesar harga barang ekspor;
d.      Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.
e.       Pembayaran ujrah dapat diambil dari dana talangan sesuai kesepakatan dalam akad.
f.       Antara akad Wakalah bil Ujrah dan akad Qardh, tidak dibolehkan adanya keterkaitan (taalluq).
3.      Akad Wakalah Bil Ujrah dan Mudharabah dengan ketentuan:
a.       Bank memberikan kepada eksportir seluruh dana yang dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir;
b.      Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;
c.       Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuing bank).
d.      Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance);
e.       Pembayaran dari bank penerbit L/C (issuing bank) dapat digunakan untuk:
o    Pembayaran ujrah;
o    Pengembalian dana mudharabah;
o    Pembayaran bagi hasil.
f.       Besar ujrah harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal, bukan dalam bentuk prosentase.
4.      Akad Musyarakah dengan ketentuan:
a.       Bank memberikan kepada eksportir sebagian dana yang dibutuhkan dalam proses produksi barang ekspor yang dipesan oleh importir;
b.      Bank melakukan pengurusan dokumen-dokumen ekspor;
c.       Bank melakukan penagihan (collection) kepada bank penerbit L/C (issuing bank);
d.      Pembayaran oleh bank penerbit L/C dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance);
e.       Pembayaran dari bank penerbit L/C (issuing bank) dapat digunakan untuk:
o    Pengembalian dana musyarakah;
o    Pembayaran bagi hasil.
5.      Akad Al-Bai (Jual-beli) dan Wakalah dengan ketentuan:
a.       Bank membeli barang dari eksportir;
b.      Bank menjual barang kepada importir yang diwakili eksportir;
c.       Bank membayar kepada eksportir setelah pengiriman barang kepada importir;
d.      Pembayaran oleh bank penerbit L/C (issuing bank) dapat dilakukan pada saat dokumen diterima (at sight) atau pada saat jatuh tempo (usance).

Ketentuan Penutup : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagai-mana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 06 Rajab 1423 H / 14 September 2002 M

36 - Sertifikat Wadi'ah Bank Indonesia
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 36/DSN-MUI/X/2002
Tentang
SERTIFIKAT WADIAH BANK INDONESIA (SWBI)
Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG SERTIFIKAT WADIAH BANK INDONESIA (SWBI)

Pertama :
1.      Bank Indonesia selaku bank sentral boleh menerbitkan instrumen moneter berdasarkan prinsip syariah yang dinamakan Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI), yang dapat dimanfaatkan oleh bank syariah untuk mengatasi kelebihan likuiditasnya.
2.      Akad yang digunakan untuk instrumen SWBI adalah akad wadi’ah sebagaimana diatur dalam Fatwa DSN No. 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro dan Fatwa DSN No. 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan.
3.      Dalam SWBI tidak boleh ada imbalan yang disyaratkan, kecuali dalam bentuk pemberian (‘athaya) yang bersifat sukarela dari pihak Bank Indonesia.
4.      SWBI tidak boleh diperjualbelikan.

Kedua :
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 23 Oktober 2002 M / 16 Syaban 1423 H

37 - Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 37/DSN-MUI/X/2002
Tentang PASAR UANG ANTARBANK
BERDASARKAN PRINSIP SYARI’AH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARI’AH

Pertama :Ketentuan Umum
1.      Pasar uang antarbank yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu pasar uang antarbank yang berdasarkan bunga.
2.      Pasar uang antarbank yang dibenarkan menurut syariah yaitu pasar uang antarbank yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
3.      Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarpeserta pasar berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
4.      Peserta pasar uang sebagaimana tersebut dalam butir 3, adalah:
a.       bank syariah sebagai pemilik atau penerima dana
b.      bank konvensional hanya sebagai pemilik dana

Kedua : Ketentuan Khusus
1.      Akad yang dapat digunakan dalam Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah adalah:
a.       Mudharabah (Muqaradhah)/ Qiradh
b.      Musyarakah
c.       Qardh
d.      Wadi’ah
e.       Al-Sharf
2.      Pemindahan kepemilikan instrumen pasar uang sebagaimana tersebut dalam butir 1. menggunakan akad-akad syariah yang digunakan dan hanya boleh dipindahtangankan sekali.

Ketiga : Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah yang berkedudukan di Indonesia, setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Keempat : Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 23 Oktober 2002 M / 16 Sya’ban 1423 H

38 - Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 38/DSN-MUI/X/2002
Tentang
SERTIFIKAT INVESTASI MUDHARABAH ANTARBANK (IMA)

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG SERTIFIKAT INVESTASI MUDHARABAH ANTARBANK (IMA)

Pertama :Ketentuan Umum
1.      Sertifikat investasi antarbank yang berdasarkan bunga, tidak dibenarkan menurut syariah.
2.      Sertifikat investasi yang berdasarkan pada akad Mudharabah, yang disebut dengan Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank (IMA), dibenarkan menurut syariah.
3.      Sertifikat IMA dapat dipindahtangankan hanya satu kali setelah dibeli pertama kali.
4.      Pelaku transaksi Sertifikat IMA adalah:
a.       bank syariah sebagai pemilik atau penerima dana.
b.      bank konvensional hanya sebagai pemilik dana.

Kedua : Ketentuan Khusus
Implementasi dari fatwa ini secara rinci diawasi oleh Dewan Pengawas Syariah pada bank syariah dan oleh Bank Indonesia.

Ketiga : Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah yang berkedudukan di Indonesia setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Keempat : Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 23 Oktober 2002 M / 16 Syaban 1423 H

39 - Asuransi Haji
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 39/DSN-MUI/X/2002
Tentang ASURANSI HAJI

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG ASURANSI HAJI

Pertama : Ketentuan Umum
1.      Asuransi Haji yang tidak dibenarkan menurut syariah adalah asuransi yang menggunakan sistem konvensional.
2.      Asuransi Haji yang dibenarkan menurut syariah adalah asuransi yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
3.      Asuransi Haji yang berdasarkan prinsip syariah bersifat ta’awuni(tolong menolong) antar sesama jama’ah haji.
4.      Akad asuransi haji adalah akad Tabarru’ (hibah) yang bertujuan untuk menolong sesama jama’ah haji yang terkena musibah. Akad dilakukan antara jama’ah haji sebagai pemberi tabarru’ dengan Asuransi Syariah yang bertindak sebagai pengelola dana hibah.

Kedua : Ketentuan Khusus
1.      Menteri Agama bertindak sebagai pemegang polis induk dari seluruh jama’ah haji dan bertanggung jawab atas pelaksanaan ibadah haji, sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2.      Jama’ah haji berkewajiban membayar premi sebagai dana tabarru’ yang merupakan bagian dari komponen Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH).
3.      Premi asuransi haji yang diterima oleh asuransi syariah harus dipisahkan dari premi-premi asuransi lainnya.
4.      Asuransi syariah dapat menginvestasikan dana tabarru’ sesuai dengan Fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syar’iah, dan hasil investasi ditambahkan ke dalam dana tabarru’.
5.      Asuransi Syariah berhak memperoleh ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’ yang besarnya ditentukan sesuai dengan prinsip adil dan wajar.
6.      Asuransi Syariah berkewajiban membayar klaim kepada jama’ah haji sebagai peserta asuransi berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.
7.      Surplus Operasional adalah hak jama’ah haji yang pengelolaannya diamanatkan kepada Menteri Agama sebagai pemegang polis induk untuk kemaslahatan umat.

Ketiga : Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah yang berkedudukan di Indonesia setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Keempat : Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan akan diperbaiki sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal :’ 23 Oktober 2002 M / 16 Sya’ban 1423 H

40 - Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 40/DSN-MUI/X/2003
Tentang
PASAR MODAL DAN PEDOMAN UMUM
PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI BIDANG PASAR MODAL
Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG PASAR MODAL DAN PEDOMAN UMUM PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI BIDANG PASAR MODAL
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Fatwa ini yang dimaksud dengan :
1.      Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek.
2.      Emiten adalah Pihak yang melakukan Penawaran Umum.
3.      Efek Syariah adalah efek sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal yang akad, pengelolaan perusahaan, maupun cara penerbitannya memenuhi Prinsip-prinsip Syariah.
4.      Shariah Compliance Officer (SCO) adalah Pihak atau pejabat dari suatu perusahaan atau lembaga yang telah mendapat sertifikasi dari DSN-MUI dalam pemahaman mengenai Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal.
5.      Pernyataan Kesesuaian Syariah adalah pernyataan tertulis yang dikeluarkan oleh DSN-MUI terhadap suatu Efek Syariah bahwa Efek tersebut sudah sesuai dengan Prinsip-prinsip Syariah.
6.      Prinsip-prinsip Syariah adalah prinsip-prinsip yang didasarkan atas ajaran Islam yang penetapannya dilakukan oleh DSN-MUI, baik ditetapkan dalam fatwa ini maupun dalam fatwa terkait lainnya.
BAB II
PRINSIP-PRINSIP SYARIAH DI BIDANG PASAR MODAL
Pasal 2

Pasar Modal
  1. Pasar Modal beserta seluruh mekanisme kegiatannya terutama mengenai emiten, jenis Efek yang diperdagangkan dan mekanisme perdagangannya dipandang telah sesuai dengan Syariah apabila telah memenuhi Prinsip-prinsip Syariah.
  2. Suatu Efek dipandang telah memenuhi prinsip-prinsip syariah apabila telah memperoleh Pernyataan Kesesuaian Syariah.

BAB III
EMITEN YANG MENERBITKAN EFEK SYARIAH
Pasal 3
Kriteria Emiten atau Perusahaan Publik
1.      Jenis usaha, produk barang, jasa yang diberikan dan akad serta cara pengelolaan perusahaan Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah tidak boleh bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah.
2.      Jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip-prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 angka 1 di atas, antara lain:
a.       perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang;
b.      lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional;
c.       produsen, distributor, serta pedagang makanan dan minuman yang haram; dan
d.      produsen, distributor, dan/atau penyedia barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.
e.       melakukan investasi pada Emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi tingkat (nisbah) hutang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi lebih dominan dari modalnya;
3.      Emiten atau Perusahaan Publik yang bermaksud menerbitkan Efek Syariah wajib untuk menandatangani dan memenuhi ketentuan akad yang sesuai dengan syariah atas Efek Syariah yang dikeluarkan.
4.      Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah wajib menjamin bahwa kegiatan usahanya memenuhi Prinsip-prinsip Syariah dan memiliki Shariah Compliance Officer.
5.      Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik yang menerbitkan Efek Syariah sewaktu-waktu tidak memenuhi persyaratan tersebut di atas, maka Efek yang diterbitkan dengan sendirinya sudah bukan sebagai Efek Syariah.

BAB IV
KRITERIA DAN JENIS EFEK SYARIAH
Pasal 4
Jenis Efek Syariah
  1. Efek Syariah mencakup Saham Syariah, Obligasi Syariah, Reksa Dana Syariah, Kontrak Investasi Kolektif Efek Beragun Aset (KIK EBA) Syariah, dan surat berharga lainnya yang sesuai dengan Prinsip-prinsip Syariah.
  2. Saham Syariah adalah bukti kepemilikan atas suatu perusahaan yang memenuhi kriteria sebagaimana tercantum dalam pasal 3, dan tidak termasuk saham yang memiliki hak-hak istimewa.
  3. Obligasi Syariah adalah surat berharga jangka panjang berdasarkan Prinsip Syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
  4. Reksa Dana Syariah adalah Reksa Dana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip Syariah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (shahib al-mal/rabb al-mal) dengan Manajer Investasi, begitu pula pengelolaan dana investasi sebagai wakil shahib al-mal, maupun antara Manajer Investasi sebagai wakil shahib al-mal dengan pengguna investasi.
  5. Efek Beragun Aset Syariah adalah Efek yang diterbitkan oleh kontrak investasi kolektif EBA Syariah yang portofolio-nya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang timbul dari surat berharga komersial, tagihan yang timbul di kemudian hari, jual beli pemilikan aset fisik oleh lembaga keuangan, Efek bersifat investasi yang dijamin oleh pemerintah, sarana peningkatan investasi/arus kas serta aset keuangan setara, yang sesuai dengan Prinsip-prinsip Syariah.
  6. Surat berharga komersial Syariah adalah surat pengakuan atas suatu pembiayaan dalam jangka waktu tertentu yang sesuai dengan Prinsip-prinsip syariah.

BAB V
TRANSAKSI EFEK
Pasal 5
Transaksi yang Dilarang
  1. Pelaksanaan transaksi harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta tidak diperbolehkan melakukan spekulasi dan manipulasi yang di dalamnya mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman.
  2. Transaksi yang mengandung unsur dharar, gharar, riba, maisir, risywah, maksiat dan kezhaliman sebagaimana dimaksud ayat 1 di atas meliputi:
    1. Najsy, yaitu melakukan penawaran palsu;
    2. Bai al-madum, yaitu melakukan penjualan atas barang (Efek Syariah) yang belum dimiliki (short selling);
    3. Insider trading, yaitu memakai informasi orang dalam untuk memperoleh keuntungan atas transaksi yang dilarang;
    4. Menimbulkan informasi yang menyesatkan;
    5. Margin trading, yaitu melakukan transaksi atas Efek Syariah dengan fasilitas pinjaman berbasis bunga atas kewajiban penyelesaian pembelian Efek Syariah tersebut; dan
    6. Ihtikar (penimbunan), yaitu melakukan pembelian atau dan pengumpulan suatu Efek Syariah untuk menyebabkan perubahan harga Efek Syariah, dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain;
    7. Dan transaksi-transaksi lain yang mengandung unsur-unsur diatas.

Pasal 6
Harga Pasar Wajar
Harga pasar dari Efek Syariah harus mencerminkan nilai valuasi kondisi yang sesungguhnya dari aset yang menjadi dasar penerbitan Efek tersebut dan/atau sesuai dengan mekanisme pasar yang teratur, wajar dan efisien serta tidak direkayasa.

BAB VI
PELAPORAN DAN KETERBUKAAN INFORMASI
Pasal 7
Dalam hal DSN-MUI memandang perlu untuk mendapatkan informasi, maka DSN-MUI berhak memperoleh informasi dari Bapepam dan Pihak lain dalam rangka penerapan Prinsip-prinsip Syariah di Pasar Modal.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 8
  1. Prinsip-prinsip Syariah mengenai Pasar Modal dan seluruh mekanisme kegiatan terkait di dalamnya yang belum diatur dalam fatwa ini akan ditetapkan lebih lanjut dalam fatwa atau keputusan DSN-MUI.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 08 Syaban 1424 H / 04 Oktober 2003 M

41 - Obligasi Syariah Ijarah
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 41/DSN-MUI/III/2004
Tentang
OBLIGASI SYARIAH IJARAH
Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG OBLIGASI SYARIAH IJARAH

Pertama : Ketentuan Umum
1.      Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan oleh Emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/marjin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
2.      Obligasi Syariah Ijarah adalah Obligasi Syariah berdasarkan akad Ijarah dengan memperhatikan substansi Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah.
3.      Pemegang Obligasi Syariah Ijarah (OSI) dapat bertindak sebagai Musta’jir (penyewa) dan dapat pula bertindak sebagai Mu’jir (pemberi sewa).
4.      Emiten dalam kedudukannya sebagai wakil Pemegang OSI dapat menyewa ataupun menyewakan kepada pihak lain dan dapat pula bertindak sebagai penyewa.

Kedua : Ketentuan Khusus
1.      Akad yang digunakan dalam Obligasi Syariah Ijarah adalah Ijarah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI nomor 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah, terutama mengenai rukun dan syarat akad.
2.      Obyek Ijarah harus berupa manfaat yang dibolehkan.
3.      Jenis usaha yang dilakukan Emiten tidak boleh bertentangan dengan syariah dengan memperhatikan substansi Fatwa DSN-MUI nomor 20/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksadana Syariah dan nomor 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.
4.      Emiten dalam kedudukannya sebagai penerbit obligasi dapat mengeluarkan OSI baik untuk asset yang telah ada maupun asset yang akan diadakan untuk disewakan.
5.      Pemegang OSI sebagai pemilik aset (a’yan) atau manfaat (manafi’) dalam menyewakan (ijarah) asset atau manfaat yang menjadi haknya kepada pihak lain dilakukan melalui Emiten sebagai wakil.
6.      Emiten yang bertindak sebagai wakil dari Pemegang OSI dapat menyewa untuk dirinya sendiri atau menyewakan kepada pihak lain.
7.      Dalam hal Emiten bertindak sebagai penyewa untuk dirinya sendiri, maka Emiten wajib membayar sewa dalam jumlah dan waktu yang disepakati sebagai imbalan (‘iwadh ma’lum) sebagaimana jika penyewaan dilakukan kepada pihak lain.
8.      Pengawasan aspek syariah dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah atau Tim Ahli Syariah yang ditunjuk oleh Dewan Syariah Nasional MUI, sejak proses emisi Obligasi Syariah Ijarah dimulai.
9.      Kepemilikan Obligasi Syariah Ijarah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama disepakati dalam akad.

Ketiga : Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.


Keempat : Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 4 Maret 2004 M / 12 Muharram 1425 H

42 - Syariah Charge Card

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 42/DSN-MUI/V/2004
Tentang SYARIAH CHARGE CARD

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG SYARIAH CHARGE CARD

Pertama : Hukum
Penggunaan charge card secara syariah dibolehkan, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

Kedua : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
a.       Syariah Charge Card adalah fasilitas kartu talangan yang dipergunakan oleh pemegang kartu (hamil al-bithaqah) sebagai alat bayar atau pengambilan uang tunai pada tempat-tempat tertentu yang harus dibayar lunas kepada pihak yang memberikan talangan (mushdir al-bithaqah) pada waktu yang telah ditetapkan.
b.      Membership Fee (rusum al-‘udhwiyah) adalah iuran keanggotaan, termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin menggunakan fasilitas kartu;
c.       Merchant Fee adalah fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn);
d.      Fee Penarikan Uang Tunai adalah fee atas penggunaan fasilitas untuk penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud).
e.       Denda keterlambatan (Late Charge) adalah denda akibat keterlambatan pembayaran yang akan diakui sebagai dana sosial.
f.       Denda karena melampaui pagu (Overlimit Charge) adalah denda yang dikenakan karena melampaui pagu yang diberikan (overlimit charge) tanpa persetujuan penerbit kartu dan akan diakui sebagai dana sosial.

Ketiga : Ketentuan Akad
Akad yang dapat digunakan untuk Syariah Charge Card adalah:
  1. Untuk transaksi pemegang kartu (hamil al-bithaqah) melalui merchant (qabil al-bithaqah/penerima kartu), akad yang digunakan adalah akad Kafalah wal Ijarah.
  2. Untuk transaksi pengambilan uang tunai digunakan akad al-Qardh wal Ijarah.

Keempat :
  1. Ketentuan dan batasan (dhawabith wa hudud) Syariah Charge Card :
a.       Tidak boleh menimbulkan riba.
b.      Tidak digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat.
c.       Tidak mendorong israf (pengeluaran yang berlebihan) antara lain dengan cara menetapkan pagu.
d.      Tidak mengakibatkan hutang yang tidak pernah lunas (ghalabah al-dayn).
e.       Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya.
  1. Ketentuan fee:
    1. Iuran keanggotaan (membership fee)
Penerbit kartu boleh menerima iuran keanggotaan (rusum al-‘udhwiyah) termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin penggunaan fasilitas kartu.
    1. Ujrah (merchant fee)
      Penerbit kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn).
    2. Fee penarikan uang tunai
      Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan.

KELIMA : Ketentuan denda
  1. Denda keterlambatan (late charge)
Penerbit kartu boleh mengenakan denda keterlambatan pembayaran yang akan diakui sebagai dana sosial.
  1. Denda karena melampaui pagu (overlimit charge)
    Penerbit kartu boleh mengenakan denda karena pemegang kartu melampaui pagu yang diberikan (overlimit charge) tanpa persetujuan penerbit kartu dan akan diakui sebagai dana sosial.

KEENAM : Ketentuan penutup
  1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 07 Rabi’ul Akhir 1425 H / 27 Mei 2004 M

43 - Ganti Rugi

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 43/DSN-MUI/VIII/2004
Tentang
GANTI RUGI (TA’WIDH)

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG GANTI RUGI (TAWIDH)

Pertama : Ketentuan Umum
1.      Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
2.      Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
3.      Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yg dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan.
4.      Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-I’ah).
5.      Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna’ serta murabahah dan ijarah.
6.      Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.

Kedua : Ketentuan Khusus
1.      Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya.
2.      Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
3.      Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
4.      Pihak yang cedera janji bertanggung jawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.

Ketiga : Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Keempat : Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan, jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 24 Jumadil Akhir 1425 H / 11 Agustus 2004 M

44 - Pembiayaan Multijasa

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 44/DSN-MUI/VIII/2004
Tentang
PEMBIAYAAN MULTIJASA


Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN MULTIJASA

Pertama : Ketentuan Umum
1.      Pembiayaan Multijasa hukumnya boleh (jaiz) dengan menggunakan akad Ijarah atau Kafalah.
2.      Dalam hal LKS menggunakan akad ijarah, maka harus mengikuti semua ketentuan yang ada dalam Fatwa Ijarah.
3.      Dalam hal LKS menggunakan akad Kafalah, maka harus mengikuti semua ketentuan yang ada dalam Fatwa Kafalah.
4.      Dalam kedua pembiayaan multijasa tersebut, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau fee.
5.      Besar ujrah atau fee harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal bukan dalam bentuk prosentase.
Kedua : Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Ketiga : Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan, jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 24 Jumadil Akhir 1425 H / 11 Agustus 2004 M

45 - Line Facility

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 45/DSN-MUI/II/2005
Tentang LINE FACILITY (At-Tashilat)

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG LINE FACILITY

Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
  1. Line Facility adalah suatu bentuk fasilitas plafon pembiayaan bergulir dalam jangka waktu tertentu yang dijalankan berdasarkan prinsip syari’ah.
  2. Wad (الوعد) adalah kesepakatan atau janji dari satu pihak (LKS) kepada pihak lain (nasabah) untuk melaksanakan sesuatu yang dituangkan ke dalam suatu dokumen Memorandum of Understanding.
  3. Wa’d yang telah disepakati tidak boleh disalahgunakan untuk pembiayaan di luar kesepakatan.
  4. Akad adalah transaksi atau perjanjian syar’i yang menimbulkan hak dan kewajiban serta merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Line Facility.

Kedua : Ketentuan Akad
1.      Line facility boleh dilakukan berdasarkan wa’d dan dapat digunakan untuk pembiayaan-pembiayaan tertentu sesuai prinsip syariah.
2.      Akad yang digunakan dalam pembiayaan tersebut di atas dapat berbentuk akad Murabahah, Istishna’, Mudharabah, Musyarakah dan Ijarah.
3.      Penetapan margin, nisbah bagi hasil dan/atau fee yang diminta oleh LKS harus mengacu kepada ketentuan-ketentuan masing-masing akad dan ditetapkan pada saat akad tersebut dibuat.
4.      LKS hanya boleh mengambil margin, bagi hasil dan/atau fee atas akad-akad yang direalisasikan dari Line Facility.
5.      Fatwa DSN nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Fatwa DSN nomor: 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna’, Fatwa DSN nomor: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh), Fatwa DSN nomor: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah, Fatwa DSN nomor 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah berlaku pula dalam pelaksanaan akad-akad Pembiayaan yang mengikuti Line Facility.

Ketiga : Ketentuan Penutup
1.      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 08 Muharram 1426 H / 21 Februari 2005 M

46 - Potongan Tagihan Murabahah

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 46/DSN-MUI/II/2005
Tentang
POTONGAN TAGIHAN MURABAHAH
(Khashm Al-Murabahah)

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG POTONGAN TAGIHAN MURABAHAH

Pertama : Ketentuan Pemberian Potongan
1.      LKS boleh memberikan potongan dari total kewajiban pembayaran kepada nasabah dalam transaksi (akad) murabahah yang telah melakukan kewajiban pembayaran cicilannya dengan tepat waktu dan nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran.
2.      Besar potongan sebagaimana dimaksud di atas diserahkan pada kebijakan LKS.
3.      Pemberian potongan tidak boleh diperjanjikan dalam akad.

Kedua : Ketentuan Penutup
1.      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 08 Muharram 1426 H / 17 Februari 2005 M

47 - Penyelesaian Piutang Murabahah bagi Nasabah Tak Mampu Bayar
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 47/DSN-MUI/II/2005
Tentang
PENYELESAIAN PIUTANG MURABAHAH
BAGI NASABAH TIDAK MAMPU MEMBAYAR
Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG PENYELESAIAN PIUTANG MURABAHAH BAGI NASABAH TIDAK MAMPU MEMBAYAR

Pertama : Ketentuan Penyelesaian
LKS boleh melakukan penyelesaian murabahah bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/ melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan:
  1. Obyek murabahah atau jaminan lainnya dijual oleh nasabah kepada atau melalui LKS dengan harga pasar yang disepakati;
  2. Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil penjualan;
  3. Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang maka LKS mengembalikan sisanya kepada nasabah
  4. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa hutang maka sisa hutang tetap menjadi hutang nasabah;
  5. Apabila nasabah tidak mampu membayar sisa hutangnya, maka LKS dapat membebaskannya.

Kedua : Ketentuan Penutup
1.      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 13 Muharram 1426 H / 22 Februari 2005 M

48 - Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 48/DSN-MUI/II/2005
Tentang
PENJADWALAN KEMBALI TAGIHAN MURABAHAH
Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG PENJADWALAN KEMBALI TAGIHAN MURABAHAH

Pertama : Ketentuan Penyelesaian
LKS boleh melakukan penjadwalan kembali (rescheduling) tagihan murabahah bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan:
  1. Tidak menambah jumlah tagihan yang tersisa;
  2. Pembebanan biaya dalam proses penjadwalan kembali adalah biaya riil;
  3. Perpanjangan masa pembayaran harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Kedua : Ketentuan Penutup
  1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah Nasional setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 16 Muharram 1426 H / 25 Februari 2005 M

49 - Konversi Akad Murabahah
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 49/DSN-MUI/II/2005
Tentang
KONVERSI AKAD MURABAHAH
Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG KONVERSI AKAD MURABAHAH





50 - Akad Mudharabah Musytarakah
FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 50/DSN-MUI/III/2006
Tentang
AKAD MUDHARABAH MUSYTARAKAH
Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG AKAD MUDHARABAH MUSYTARAKAH

Pertama : Ketentuan Umum
Mudharabah Musytarakah adalah bentuk akad Mudharabah di mana pengelola (mudharib) menyertakan modal atau dananya dalam kerjasama investasi.

Kedua : Ketentuan Hukum
Mudharabah Musytarakah boleh dilakukan oleh Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS), karena merupakan bagian dari hukum Mudharabah.

Ketiga : Ketentuan Akad
1.      Akad yang digunakan adalah akad Mudharabah Musytarakah, yaitu perpaduan dari akad Mudharabah dan akad Musyarakah.
2.      LKS sebagai mudharib menyertakan modal atau dananya dalam investasi bersama nasabah.
3.      LKS sebagai pihak yang menyertakan dananya (musytarik) memperoleh bagian keuntungan berdasarkan porsi modal atau yang disertakan.
4.      Bagian keuntungan sesudah diambil oleh LKS sebagai musytarik dibagi antara LKS sebagai mudharib dengan nasabah dana sesuai dengan nisbah yang disepakati.
5.      Apabila terjadi kerugian maka LKS sebagai musytarik menanggung kerugian sesuai dengan porsi modal atau dana yang disertakan.

Keempat : Ketentuan Penutup
1.      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 23 Shafar 1427 / 23 Maret 2006

51 - Akad Mudharabah Musytarakah pada Asuransi Syariah

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 51/DSN-MUI/III/2006
Tentang
AKAD MUDHARABAH MUSYTARAKAH
PADA ASURANSI SYARIAH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG AKAD MUDHARABAH MUSYTARAKAH PADA ASURANSI SYARIAH

Pertama : Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan:
  1. asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah;
  2. peserta adalah peserta asuransi atau perusahaan asuransi dalam reasuransi.

Kedua : Ketentuan Hukum
  1. Mudharabah Musytarakah boleh dilakukan oleh perusahaan asuransi, karena merupakan bagian dari hukum Mudharabah.
  2. Mudharabah Musytarakah dapat diterapkan pada produk asuransi syariah yang mengandung unsur tabungan (saving) maupun non tabungan.

Ketiga : Ketentuan Akad
  1. Akad yang digunakan adalah akad Mudharabah Musytarakah, yaitu perpaduan dari akad Mudharabah dan akad Musyarakah.
  2. Perusahaan asuransi sebagai mudharib menyertakan modal atau dananya dalam investasi bersama dana peserta.
  3. Modal atau dana perusahaan asuransi dan dana peserta diinvestasikan secara bersama-sama dalam portofolio.
  4. Perusahaan asuransi sebagai mudharib mengelola investasi dana tersebut.
  5. Dalam akad, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
    1. hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi;
    2. besaran nisbah, cara dan waktu pembagian hasil investasi;
    3. syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan produk asuransi yang diakadkan.
  6. Hasil investasi :
    Pembagian hasil investasi dapat dilakukan dengan salah satu alternatif sebagai berikut:
    Alternatif I :
    1. Hasil investasi dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai mudharib) dengan peserta (sebagai shahibul mal) sesuai dengan nisbah yang disepakati.
    2. Bagian hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai mudharib) dibagi antara perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dengan para peserta sesuai dengan porsi modal atau dana masing-masing.
Alternatif II :
    1. Hasil investasi dibagi secara proporsional antara perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dengan peserta berdasarkan porsi modal atau dana masing-masing.
    2. Bagian hasil investasi sesudah disisihkan untuk perusahaan asuransi (sebagai musytarik) dibagi antara perusahaan asuransi sebagai mudharib dengan peserta sesuai dengan nisbah yang disepakati.
  1. Apabila terjadi kerugian maka perusahaan asuransi sebagai musytarik menanggung kerugian sesuai dengan porsi modal atau dana yang disertakan.

Keempat : Kedudukan Para Pihak dalam Akad Mudharabah Musytarakah
1.      Dalam akad ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai mudharib (pengelola) dan sebagai musytarik (investor).
2.      Peserta (pemegang polis) dalam produk saving, bertindak sebagai shahibul mal(investor).
3.      Para peserta (pemegang polis) secara kolektif dalam produk non saving, bertindak sebagai shahibul mal (investor).

Kelima : Investasi
1.      Perusahaan asuransi selaku pemegang amanah wajib melakukan investasi dari dana yang terkumpul.
2.      Investasi wajib dilakukan sesuai dengan prinsip syariah.

Keenam : Ketentuan Penutup
1.      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 23 Shafar 1427 / 23 Maret 2006

52 - Akad Wakalah Bil Ujrah pada Asuransi dan Reasuransi Syariah

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 52/DSN-MUI/III/2006
Tentang
AKAD WAKALAH BIL UJRAH
PADA ASURANSI DAN REASURANSI SYARIAH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG AKAD WAKALAH BIL UJRAH PADA ASURANSI DAN REASURANSI SYARIAH

Pertama : Ketentuan Umum
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan:
  1. Asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi syariah;
  2. Peserta adalah peserta asuransi (pemegang polis) atau perusahaan asuransi dalam reasuransi syari’ah.

Kedua : Ketentuan Hukum
1.      Wakalah bil Ujrah boleh dilakukan antara perusahaan asuransi dengan peserta.
2.      Wakalah bil Ujrah adalah pemberian kuasa dari peserta kepada perusahaan asuransi untuk mengelola dana peserta dengan pemberian ujrah (fee).
3.      Wakalah bil Ujrah dapat diterapkan pada produk asuransi yang mengandung unsur tabungan (saving) maupun maupun unsur tabarru' (non-saving).

Ketiga : Ketentuan Akad
1.      Akad yang digunakan adalah akad Wakalah bil Ujrah.
2.      Objek Wakalah bil Ujrah meliputi antara lain:
a.       kegiatan administrasi
b.      pengelolaan dana
c.       pembayaran klaim
d.      underwriting
e.       pengelolaan portofolio risiko
f.       pemasaran
g.      investasi
3.      Dalam akad Wakalah bil Ujrah, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
a.       hak dan kewajiban peserta dan perusahaan asuransi;
b.      besaran, cara dan waktu pemotongan ujrah fee atas premi;
c.       syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

Keempat : Kedudukan dan Ketentuan Para Pihak dalam Akad Wakalah bil Ujrah
1.      Dalam akad ini, perusahaan asuransi bertindak sebagai wakil (yang mendapat kuasa) untuk mengelola dana
2.      Peserta sebagai individu dalam produk saving bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa)
3.      Peserta sebagai suatu badan/kelompok, dalam akun tabarru’ bertindak sebagai muwakkil (pemberi kuasa) untuk mengelola dana.
4.      Wakil tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain atas kuasa yang diterimanya, kecuali atas izin muwakkil (pemegang polis);
5.      Akad Wakalah adalah bersifat amanah (yad amanah) dan bukan tanggungan (yad dhaman) sehingga wakil tidak menanggung risiko terhadap kerugian investasi dengan mengurangi fee yang telah diterimanya, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi.
6.      Perusahaan asuransi sebagai wakil tidak berhak memperoleh bagian dari hasil investasi, karena akad yang digunakan adalah akad Wakalah.

Kelima : Investasi
1.      Perusahaan asuransi selaku pemegang amanah wajib menginvestasikan dana yang terkumpul dan investasi wajib dilakukan sesuai dengan syariah.
2.      Dalam pengelolaan dana/investasi, baik dana tabarru’ maupun saving, dapat digunakan akad Wakalah bil Ujrah dengan mengikuti ketentuan seperti di atas, akad Mudharabah dengan mengikuti ketentuan fatwa Mudharabah, atau akad Mudharabah Musytarakah dengan mengikuti ketentuan fatwa Mudharabah Musytarakah.

Keenam : Ketentuan Penutup
1.      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 23 Shafar 1427 / 23 Maret 2006

53 - Akad Tabarru' pada Asuransi dan Reasuransi Syariah

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 53/DSN-MUI/III/2006
Tentang
AKAD TABARRU’
PADA ASURANSI DAN REASURANSI SYARIAH

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG AKAD TABARRU’ PADA ASURANSI DAN REASURANSI SYARIAH

Pertama : Ketentuan Hukum
1.      Akad Tabarru’ merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi.
2.      Akad Tabarru’ pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar peserta pemegang polis.
3.      Asuransi syariah yang dimaksud pada point 1 adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransi.

Kedua : Ketentuan Akad
1.      Akad Tabarru’ pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong antar peserta, bukan untuk tujuan komersial.
2.      Dalam akad Tabarru’, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
a.       hak & kewajiban masing-masing peserta secara individu;
b.      hak & kewajiban antara peserta secara individu dalam akun tabarru’ selaku peserta dalam arti badan/kelompok;
c.       cara dan waktu pembayaran premi dan klaim;
d.      syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.

Ketiga : Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tabarru’
1.      Dalam akad Tabarru’, peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa musibah.
2.      Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru’ (mu’amman/mutabarra’ lahu) dan secara kolektif selaku penanggung (mu’ammin/mutabarri).
3.      Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad Wakalah dari para peserta selain pengelolaan investasi.

Keempat : Pengelolaan
1.      Pembukuan dana Tabarru’ harus terpisah dari dana lainnya.
2.      Hasil investasi dari dana tabarru’ menjadi hak kolektif peserta dan dibukukan dalam akun tabarru’.
3.      Dari hasil investasi, perusahaan asuransi dapat memperoleh bagi hasil berdasarkan akad Mudharabah atau akad Mudharabah Musytarakah, atau memperoleh ujrah (fee) berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah.

Kelima : Surplus Underwriting
1.      Jika terdapat surplus underwriting atas dana tabarru’, maka boleh dilakukan beberapa alternatif sebagai berikut:
a.       Diperlakukan seluruhnya sebagai dana cadangan dalam akun tabarru’.
b.      Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dibagikan sebagian lainnya kepada para peserta yang memenuhi syarat aktuaria/manajemen risiko.
c.       Disimpan sebagian sebagai dana cadangan dan dapat dibagikan sebagian lainnya kepada perusahaan asuransi dan para peserta sepanjang disepakati oleh para peserta.
2.      Pilihan terhadap salah satu alternatif tersebut di atas harus disetujui terlebih dahulu oleh peserta dan dituangkan dalam akad.

Keenam : Defisit Underwriting
1.      Jika terjadi defisit underwriting atas dana tabarru’ (defisit tabarru), maka perusahaan asuransi wajib menanggulangi kekurangan tersebut dalam bentuk Qardh (pinjaman).
2.      Pengembalian dana qardh kepada perusahaan asuransi disisihkan dari dana tabarru.

Ketujuh : Ketentuan Penutup
1.      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 23 Shafar 1427 / 23 Maret 2006

54 - Syariah Card

FATWA DEWAN SYARI'AH NASIONAL
NO: 54/DSN-MUI/X/2006
Tentang SYARIAH CARD

Menimbang :
Mengingat :
Memperhatikan :
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : FATWA TENTANG SYARIAH CARD

Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1.      Syariah Card adalah kartu yang berfungsi seperti Kartu Kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam fatwa ini.
2.      Para pihak sebagaimana dimaksud dalam butir a adalah pihak penerbit kartu (mushdir al-bithaqah), pemegang kartu (hamil al-bithaqah) dan penerima kartu (merchant, tajir atau qabil al-bithaqah).
3.      Membership Fee (rusum al-‘udhwiyah) adalah iuran keanggotaan, termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu, sebagai imbalan izin menggunakan kartu yang pembayarannya berdasarkan kesepakatan.
4.      Merchant Fee adalah fee yang diberikan oleh merchant kepada penerbit kartu sehubungan dengan transaksi yang menggunakan kartu sebagai upah/imbalan (ujrah) atas jasa perantara (samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn);
5.      Fee Penarikan Uang Tunai adalah fee atas penggunaan fasilitas untuk penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud).
6.      Ta’widhadalah ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh penerbit kartu akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.
7.      Denda keterlambatan (late charge) adalah denda akibat keterlambatan pembayaran kewajiban yang akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial.

Kedua : Hukum
Syariah Card dibolehkan, dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam fatwa ini.

Ketiga : Ketentuan Akad
Akad yang digunakan dalam Syariah Card adalah:
a.       Kafalah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penjamin (kafil) bagi Pemegang Kartu terhadap Merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara Pemegang Kartu dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai dari selainbank atau ATM bank Penerbit Kartu. Atas pemberian Kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah kafalah).
b.      Qardh; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah pemberi pinjaman (muqridh) kepada Pemegang Kartu (muqtaridh) melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank Penerbit Kartu.
c.       Ijarah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan terhadap Pemegang Kartu. Atas Ijarah ini, Pemegang Kartu dikenakan membership fee.

Keempat : Ketentuan tentang Batasan (Dhawabith wa Hudud) Syariah Card
a.       Tidak menimbulkan riba.
b.      Tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syariah.
c.       Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf), dengan cara antara lain menetapkan pagu maksimal pembelanjaan.
d.      Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya.
e.       Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah

Kelima : Ketentuan Fee
a.       Iuran keanggotaan (membership fee)
Penerbit Kartu berhak menerima iuran keanggotaan (rusum al-‘udhwiyah) termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang Kartu sebagai imbalan (ujrah) atas izin penggunaan fasilitas kartu.
b.      Merchant fee
Penerbit Kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah) atas perantara (samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn).
c.       Fee penarikan uang tunai
Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan.
d.      Fee Kafalah
Penerbit kartu boleh menerima fee dari Pemegang Kartu atas pemberian Kafalah.
e.       Semua bentuk fee tersebut di atas (a s-d d) harus ditetapkan pada saat akad aplikasi kartu secara jelas dan tetap, kecuali untuk merchant fee.

Keenam : Ketentuan Ta’widh dan Denda
a.       Ta’widh
Penerbit Kartu dapat mengenakan ta’widh, yaitu ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Penerbit Kartu akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.
b.      Denda keterlambatan (late charge)
Penerbit kartu dapat mengenakan denda keterlambatan pembayaran yang akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial.

Ketujuh : Ketentuan Penutup
1.      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah atau melalui Pengadilan Agama setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
2.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 18 Ramadhan 1427 H / 11 Oktober 2006 M

Bank Syariah

DAFTAR PERBANKAN SYARIAH s.d. 2 April 2007

  1. Bank Umum Syariah
    1. Bank Muamalat Indonesia
    2. Bank Syariah Mandiri
    3. Bank Syariah Mega Indonesia

  1. Unit Usaha Syariah Bank Umum
    1. Bank IFI Syariah
    2. Bank BNI Syariah
    3. Bank Bukopin Syariah
    4. Bank BRI Syariah
    5. Bank Danamon Syariah
    6. Bank BII Syariah
    7. Bank HSBC Amanah Syariah
    8. Bank Niaga Syariah
    9. Bank Permata Syariah
    10. Bank BTN Syariah

  1. Unit Usaha Syariah BPD
    1. Bank Jabar Syariah
    2. Bank DKI Syariah
    3. Bank Riau Syariah
    4. Bank Sumut Syariah
    5. BPD Aceh Syariah
    6. BPD Kalsel Syariah
    7. BPD NTB Syariah
    8. Bank Sumsel Syariah
    9. Bank Kalbar Syariah
    10. BPD DIY Syariah
    11. BPD Kaltim Syariah
    12. Bank Nagari Syariah (BPD Sumbar)
    13. Bank Jatim Syariah
    14. Bank Sulsel Syariah

  1. Bank Kustodian Syariah
    1. Deutsche Bank

  1. BPR Syariah : k.l. ada 100-an BPRS

DEWAN SYARIAH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Pengunjung