Empat Penyebab Masuk Surga | Makna Hadits Yang Diriwayatkan Oleh Al-Tirmidzi..!!

Empat Penyebab Masuk Surga

Dari Abdullah bin Salam radhiayallahu ‘anhu ia berkata; “Rasulullah saw. bersabda: “Wahai manusia! Sebarkanlah salam, hubungkanlah tali silaturrhahmi, berilah makan dan dirikanlah shalat malam di saat manusia tertidur lelap; niscaya kalian akan masuk surga dengan damai” (HR. Al-Tirmidzi; dan di-Shahihkan olehnya).
Cinta dan kasih sayang di dalam masyarakat Islam merupakan salah satu sasaran dakwah Rasulullah saw. Doktrin agama –Islam—yang mengajarkan hal ini banyak kita temukan di dalam ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. Salah satu bentuk anjuran untuk menumbuhkan dasar-dasar cinta dan kasih sayang tersebut inilah yang terdapat di dalam hadits tersebut di atas. Sebuah hadits Rasul saw. yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Salam yang bergelar Abu Yusuf; seorang Yahudi dari Bani Qainuqa’ dan salah seorang pendeta Yahudi yang memeluk agama Islam.

Dalam hadits tersebut, Nabi saw. menganjurkan kepada kita selaku manusia –umat Islam—untuk menciptakan dan menumbuhkan nilai-nilai cinta dan kasih sayang, sehingga akan menumbuhkan nilai-nilai persaudaraan (values of brotherhood). Untuk mencapai hal tersebut, Nabi saw. menganjurkan kita untuk melakukan empat perkara;

Pertama, menebarkan salam.
Dalam berbagai redaksi hadits yang lain, Nabi saw. banyak menganjurkan kita untuk saling menebar salam. Beliau menganjurkan kita agar mengucapkan salam kepada sesama Muslim; baik yang belum kita kenal maupun yang sudah. Dalam hadits yang lain juga beliau mengatakan bahwa salah satu syarat agar kita dapat saling cinta-mencintai adalah dengan menebarkan salam; afsyu al-salam bainakum, demikian ungkap beliau. Dengan kata lain, Nabi saw. memerintahkan kita untuk membangun dan menciptakan “budaya salam” dalam kehidupan kita sehari-hari.

Secara psikologis, kita juga dapat merasakan dan membuktikan betapa ungkapan; “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” memiliki daya magis yang luar biasa. Hati kita menjadi damai jika mendengar orang lain mengucapkannya; meskipun tidak ditujukan kepada kita. Maka, tidak heran jika Nabi saw. sangat menstimulasi umatnya untuk selalu mengucapkan salam secara sempurna, karena hal demikian akan mendapat pahala tiga puluh. Subhanallah.

Bahkan, secara etika dalam mengucapkan salam Nabi saw. memberikan bimbingan yang sangat konkret dalam sebuah hadits beliau yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.; “Hendaklah orang yang lebih kecil memberi salam kepada yang lebih besar –darinya, orang yang berkendaraan memberi salam kepada yang berjalan kaki, dan kelompok yang sedikit memberi salam kepada kelompok yang banyak” (Muttafaq ‘Alaih).

Kedua, menghubungkan tali silaturrahmi.
Saling kunjung-mengunjungi; atau dalam bahasa lain sowan maupun anjangsana dan sebagainya; merupakan ajaran Islam yang sangat mulia. Barangsiapa yang ingin diluaskan rizkinya dan ingin dipanjangkan umurnya, hendaklah menghubungkan tali silaturrahmi, demikian ajaran Baginda Nabi saw.

Saling kunjung (ziarah) tidak hanya terbatas oleh satu waktu dan moment tertentu. Ia tidak hanya dilakukan pada saat ‘Idul Fitri saja, ataupun “Idul Adha dan acara-acara lainnya yang memang tampak lebih formal. Namun, ia bisa dilakukan setiap saat; setiap ada waktu dan kesempatan. Apalagi bagi kita –mungkin—yang pernah mengalami semacam clash dan gap; sehingga timbul rasa yang tidak enak dan mengganjal hati dan perasaan. Di sinilah fungsi dan peran silaturrahmi sebagai ajang untuk saling mencairkan kebekuan hati akibat gundukkan “batu kesal” dan “tembok kebencian”. Bukankah Nabi saw. melarang kita untuk mendiamkan saudara kita lebih dari tiga hari. Mengapa tidak segera kita mulai saja untuk mencairkan “batu kesal” dan “tembok kebencian” itu?

Ketiga, memberi makan –orang lain.
Artinya, kita dianjurkan untuk menyisihkan sebagian rizki dan kelebihan harta yang kita miliki untuk mereka yang membutuhkan. Dan yang paling nomor wahid adalah mereka para fakir-miskin atau yang membutuhkan uluran tangan kita, dan secara umum adalah manusia yang hidup di sekitar kita. Hal ini –jika kita lakukan— akan menghilangkan dan menghapus rasa kikir (al-syuhh) dari dalam hati kita dan akan menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang kepada orang lain serta akan menyadarkan kita bahwa apa yang kita miliki merupakan titipan Yang Maha Kuasa; kita hanya bertindak sebagai kran yang hanya bertugas menampung air yang akan kita alirkan dan kita salurkan, bukan untuk kita gunakan sendiri. Sungguh. Orang yang dermawan adalah orang yang sangat dicintai oleh Allah swt. dan Rasul-Nya.

Keempat, melaksanakan shalat malam.
Inilah jenis ibadah yang kita kenal dengan istilah “tahajjud”. Dengan meminjam istilah KH. Zainuddin MZ bahwa “tahajjud” merupakan fasilitas SLJJ yang jarang sekali digunakan oleh orang lain. Bukan tanpa alasan, jika Nabi saw. menganjurkan hal ini kepada kita selaku umatnya. Malam hari adalah waktu yang sangat sepi dari kegaduhan dan kebisingan. Situasinya akan sangat berbeda dengan siang hari; dimana suara kendaraan begitu mengganggu pendengaran kita, belum lagi suara aktivitas manusia lainnya.

 Malam harilah waktu yang tepat –bukan berarti kita menafikan eksistensi waktu yang lain— untuk berkomunikasi dengan Sang Maha Pencipta. Salurannya akan terasa lebih nyaman, lebih konsen dan suara hati akan terdengar lebih jelas; tidak ada hambatan. Di saat manusia lain tertidur pulas, merupakan waktu yang sangat tepat untuk bermunajat kepada Sang Pencipta. Hati akan mudah hadir dan berdialog dengan penciptanya. Do’a pada saat itu akan lebih didengar oleh Dia Yang Maha Mendengar.

Dari Abu Usamah ra. ia berkata; “Rasulullah saw. ditanya; Do’a yang mana yang lebih didengar –Allah? Beliau menjawab; “Di tengah malam yang terakhir dan setelah usai melaksanakan shalat-shalat maktubah (wajib)” (HR. Al-Tirmidzi).

Baginda Nabi saw. adalah contoh yang ideal dalam melakukan dan menggunakan fasilitas yang satu ini. Kaki beliau sampai bengkak karena ingin dianggap oleh Allah sebagai hamba-Nya yang pandai bersyukur; sebagaimana yang diceritakan dalam sebuah hadits oleh istrinya tercinta Aisyah ra. Hanya saja fasilitas ini jarang kita gunakan. Kita masih banyak terlena oleh lambaian sang “kasur empuk” yang senantiasa menggoda dan membelai tubuh kita dengan mesra. Akhirnya, kita pun jatuh terkulai dalam pelukan “sang malam” yang kian pagi terasa kian enak, sejuk dan nyaman.

Akhirnya, marilah kita bermohon kepada Allah agar diberi kekuatan dan keimanan untuk dapat melaksanakan anjuran Nabi kita; sehingga kita benar-benar menjadi Muslim yang kaffah; dengan demikian kita benar-benar akan dimasukkan oleh Allah ke dalam surga-Nya. Semoga.
* Penulis adalah alumnus Pon. Pes Ar-Raudhatul-Hasanah. Sekarang sedang melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar, Cairo-Mesir, Fakultas Ushuluddin.
(bps)   

Pengunjung