BURUNGPUN BERDZIKIR
Bagaimana dengan Kita
Matahari belum lagi muncul dari peraduannya, waktu subuh pun baru kan menjelang. Tetapi, keheningan menjelang subuh mulai pecah dengan suara merdu cicit burung yang saling bersahut-sahutan. Indah sekali terdengar di telinga. Sayangnya, keharmonisan suara cicit burung itu semakin lama mulai menghilang bersamaan dengan makin bersinarnya matahari pagi.
Rutinas pagi dengan sambutan selamat datang suara cicit burung, mungkin menjadi sarapan pagi menjelang subuh yang dialami oleh sebagian orang. Subhanallah, fenomena alam yang sekilas terkesan sederhana ini, sebenarnya merupakan sebuah peringatan bagi kita. Bahwa sesungguhnya semua makhluk di langit dan bumi, termasuk burung pun yang derajatnya lebih rendah daripada manusia melakukan tasbih (beribadah dan melakukan puji-pujian kepada Allah) dan dzikir kepada Ilahi.
Mereka bangun pagi-pagi buta, mengepakkan sayapnya, bertasbih dan berdzikir. Setelah itu baru mereka memenuhi kebutuhan dunianya, yaitu mencari makan, bercengkrama dengan anak dan keluarganya, atau sekedar bermain-main dengan burung lainnya.
"Tidakkah kami tahu bahwasanya Allah, kepada-Nya bertasbih apa yang ada di langit dan di bumi, dan (juga) burung dengan mengembangkan sayapnya. Masing-masing telah mengetahui (cara) sholat dan tasbihnya. Dan Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan." (Qs. 24:41)
Kita memang tidak mengerti tasbih dan dzikir yang dilakukan oleh burung-burung (ataupun makhluk-makhluk lainnya). Yang terdengar oleh kita hanyalah lantunan suara merdu yang harmonis, berirama, dan indah di telinga. Karena, sesungguhnya Allah Swt yang sudah memberitakan kepada manusia bahwa kita tidak akan mengerti tasbih dan dzikir yang dilakukan, baik oleh burung-burung ataupun makhluk-makhluk di langit dan bumi.
"Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Alloh. Dan tidak ada satupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya. Tetapi, kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya dia Maha Penyantun dan Maha Pengampun." (Qs. 17:44)
Oleh karena itu, alangkah malunya kita sebagai manusia yang dianugerahi Alloh sebagai makhluk dengan kesempurnaan unsur, tetapi terlupa untuk melakukan dzikir dan tasbih secara rutin kepada Ilahi Robbi, Dzat yang telah memberikan berjuta-juta nikmat kepada kita. Padahal, tasbih dan dzikir kepada Allah merupakan kunci yang membuka hijab atau batas dari kegelapan menuju cahaya iman. Ia juga merupakan sarana yang menguak kesadaran akan hakekat diri yang tenggelam. Karena melalui tasbih dan dzikrullah akan melahirkan pikiran dan jiwa yang cerdas serta tenang yang selalu diiringi oleh sikap tunduk, pasrah, dan tawakal kepada Allah swt.
“Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenang dengan dzikrulloh (mengingat Alloh). Ingatlah hanya dengan mengingat Allohlah hati menjadi tenang.“ (Qs. 13:28)
Selain itu, dzikir juga merupakan refleksi dari kepahaman dan keyakinan akan hakekat diri sebagai manusia ciptaan Allah. Bahwa diri yang lemah ini diciptakan dengan tujuan asasi untuk mengabdi dan beribadah kepada Sang Khalik. Semakin tinggi pemahaman terhadap hal ini, semakin melambung nilainya. Dzikirnya selalu tak terlupa, ruhaninya bersih dan selalu tertata dalam meniti jalan menuju keridhoan Ilahi.
Keutamaan berdzikir tercermin dalam sebuah dialog antara Rasulullah dengan seorang sahabat (sebagaimana diriwayatkan Tirmidzi)
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam telah banyak ada padaku, maka beritahulah kepadaku dengan sesuatu yang aku bisa berpegang teguh dengannya."
Rasulullah saw bersabda, "Hendaklah lisanmu selalu basah karena berdzikir kepada Alloh." (Muttafaqun 'Alaihi dari Hadits Abu Hurairah).
Selain itu, dalam hadits lain,
Rasulullah saw bersabda, "Aku berserah diri kepada persangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Jika ia mengingatKu (berdzikir) dalam dirinya, Aku akan menyebut dalam diri-Ku. Jika ia mengingatKu dalam sebuah jamaah, maka Aku akan menyebutkanya di dalam jamaah yang lebih baik dari mereka."
Sesungguhnya melakukan tasbih dan dzikrullah bukan hanya sekedar di lisan atau duduk tersungkur kemudian menangis. Tetapi, dzikir yang dilakukan oleh seorang mukmin haruslah dzikir yang melibatkan hati atau qolbu, menghadirkan pikiran akan makna-makna yang terucap oleh lisan, berusaha terwarnai olehnya, dan berupaya menetapi maksud dan tujuan. Selain itu, dzikir yang kita lakukan hendaknya juga senantiasa merasakan akan kehadiran Allah (muroqobatulloh) di mana pun ia berada. Rasa muroqobatulloh seorang mukmin ini akan semakin kuat seiring dengan kuatnya tali dzikir kepada Alloh swt. Ia akan selalu meyakini, tidak ada sedikit pun gerakan dan amal yang ia lakukan, kecuali dicatat dalam ’buku induk’ amal perbuatannya.
“Apakah mereka mengira, bahwa Kami tidak mendengar rahasia dan bisikan-bisikan mereka? Sebenarnya (Kami mendengar) dan utusan-utusan (malaikat-malaikat) Kami selalu mencatat di sisi mereka.“ (Qs. 43:80).
Dzikir itu tidak terbatas pada basahnya lisan oleh ucapan-ucapan yang bermakna sakral dan menghidupkan jiwa yang gersang. Tetapi taubat juga merupakan dzikir, tafakur juga dzikir, menuntut ilmu itu dzikir, mencari rezeki dengan niat yang baik juga dzikir, dan segala sesuatu yang di sana ada upaya taqarrub kepada Allah dan selalu ber-muroqobah kepada-Nya, maka itu adalah dzikir. Karenanya, manusia yang arif adalah yang selalu berdzikir di setiap kesempatan, waktu, dan kesempitan.
Seorang mukmin yang mempunyai hubungan dzikir yang kuat dengan Alloh, hatinya pun akan selalu sensitif dalam melakukan amal. Ia akan selalu menimbang setiap amal perbuatannya dengan timbangan syara’. Sehingga amal perbuatannya sangat bernilai laksana emas. Karena ia akan melihat bahwa Allah sesungguhnya lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya sendiri.
"Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Qs.50:16)
Selain itu, seorang mukmin pun perlu melakukan dzikir akal, yaitu dengan selalu berupaya menerjemahkan dan memikirkan fenomena-fenomena alam yang ada di sekitar kita dengan keagungan dan kekuasaan Allah, Sang Pencipta yang Maha Besar. Tidak bisa dibantah lagi bahwa seorang mukmin harus melakukan dzikir akal ini. Karena Rasulullah saw, setelah turun surat Al-Imron ayat 190 sampai 191 yang menerangkan tentang Ulil Albaab, yaitu orang-orang yang selalu memikirkan fenomena alam dalam keadaan berdiri, duduk, dan berbaring, dengan cucuran air mata beliau berkata kepada Bilal bin Rabbah:
“Celakalah orang yang membaca ayat itu, namun tidak merenungkannya.“
Untuk mencapai hasil optimal dalam proses perenungan fenomena alam, Al-Ustadz Sayyid Qutb memberikan kiat, janganlah kita menganggap bahwa fenomena alam yang terjadi di sekeliling kita ini adalah suatu rutinitas yang terjadi begitu saja. Tetapi, cobalah memikirkan bahwa sesungguhnya ada sentuhan dari sebuah kekuasaan yang sangat besar, yang tidak bisa digapai manusia yaitu kekuasaan Allah swt yang menyebabkan terjadinya fenomena alam yang begitu ajaib, unik, aneh, dan teratur.
Dan tak lupa, semoga kita pun selalu berupaya membiasakan lisan, hati, dan amal kita untuk mengekspresikan apa yang kita dapat dan kita alami dalam hidup ini dengan untaian-untaian tasbih dan dzikir kepada Allah 'Azza wa Jalla.
Wallohu a'lam bishawab.