PERSAHABATAN DI ATAS JALAN TAK ADA UJUNG
Sahabat bisa kita dapatkan dari sesuatu yang tak kita duga
(Cerpen ini terinspirasi dari novel “Jalan Tak Ada Ujung” karya Mochtar Lubis)
Oleh
Anis Handayani
Mahasiswi di FKIP UPI Tasikmalaya
Prolog
Seorang tak tau kapan dirinya dilahirkan, kapan beliau wafat, & dengan cara apa ia ditakdirkan. Sekian Banyak orang ditakdirkan hidup bahagia, orang-orang ditakdirkan hidup menderita, sekian banyak orang ditakdirkan hidup dalam ketakutan. Kita hidup bagai menyusuri jalan. Jalan itu ga ada ujungnya, tiap-tiap seolah dapat hingga ke ujungnya, tentu ada jalan lain. Kita tidak sempat tau di mana ujung jalan itu, mungkinkah ujung jalan itu merupakan di mana lokasi yg kita tuju? Demikian pula bersama hidup kita, kita tidak sempat tau kapan hidup kita berujung, kita bahkan tidak sempat tau takdir kita seperti apa. Takdir itu seperti satu buah tikungan, kita tidak sempat tau apa yg ada di balik tikungan itu, entah sesuatu yg membahayakan (menyedihkan), entah sesuatu yg indah (menyenangkan).
Penulis narasi ini bernama Anis Handayani. Lahir di daerah yg bisa jadi kurang populer adalah di Ciamis-Jawa Barat. Ia mempunyai hobi posting puisi & menyanyi. Ia satu orang yg tetap dalam proses mencari jati dia yg sesungguhnya. Ia amat sangat suka warna hijau. Beliau mempunyai nama pena El-Croma Nisyani. Saat Ini beliau sedang menjalani kuliahnya di Kampus Pendidikan Indonesia Jurusan PGSD, & sedang duduk di Interes Bahasa Indonesia.
PERSAHABATAN DI ATAS JALAN tiada UJUNG
Di hri pekan siang ini, Desa Sukahurip diguyur hujan demikian lebat. Cahaya kilat bagai lidah api yg menjilat-jilat & nada Guntur menderu-deru seakan siap merontokkan jantung tiap-tiap orang yg mendengarnya. Saya menyibak tirai jendela, dari jendela rumah saya menonton ke halaman rumah yg rata-rata ramai bersama anak-anak mungil yg main-main di hri libur, sekarang tampak demikian sepi. Warung Pak Damrah dipinggir jalan yg kebanyakan kelihatan hangat bersama keramaian juga sekarang ini kelihatan demikian dingin, nampaknya dapat cepat ditutup. Saya pula menonton ke arah jalan yg serta tampak sepi, padahal kebanyakan demikian tidak sedikit kendaraan yg berlalu lalang di sana. Dari kendaraan tradisional seperti beca sampai kendaraan trendi seperti mobil tidak jarang melintasi jalan itu. Entah kenapa hri ini demikian sepi. Mungkinkah dikarenakan hri hujan? Saya tetap memandang jalan yg nampak demikian panjang. Sampai teringat kepada kata-kata Bu Guru, saya pula bertanya-tanya terhadap diri sendiri “apakah benar yg dikatan Bu Guru jika jalan itu tidak ada ujungnya?”
“Nisa, mengapa tirainya tak di tutup Nak? Apa anda tak takut menyaksikan kilat?” terdengar nada ibu yg mengagetkanku dari belakang.
“oh iya Bu, dapat Nisa tutup.” Jawabku bersama suara terperanjat & serta-merta menutup tirai jendelanya. “oya Bu, apa benar jikalau jalan itu tiada ujungnya? Soalnya tempo hari Ibu Guru bilang demikian.” tanyaku penasaran. Tapi Ibu tak serentak menjawab. Saya juga mengulangi pertanyaanku sekali lagi. Barulah Ibu mengajakku duduk & menjawab pertanyaanku.
“iya, Nisa. Bukankah dimana-mana tentu ada jalan? Itu bukti bahwa jalan tidak ada ujungnya. Dikarenakan tiap-tiap kita seakan-akan nyaris menemukan ujung jalan, tentu bakal ada jalan lain, entah itu belok kiri, belok kanan maupun masih lurus. Sebab yg jadi ujung itu sendiri bukan jalannya nak, namun maksud kita sendiri. Dalam aspek apa pula itu.”
“Tujuan itu apa Bu?” tanyaku yg tetap kurang mengerti.
“Tujuan ialah tujuan kita nak, tujuan yg mau diperoleh. Misalnya begini, seandainya anda lapar tentu dapat makan. & maksud dari makan itu yaitu biar anda kenyang nak.” Jawab ibu utk membuatku mengerti.
* * *
Saya pergi ke SD seperti kebanyakan, mengikuti upacara bendera pula seperti kebanyakan. Tetapi waktu saya masuk ke dalam kelas, ada elemen yg tak biasa, yakni hri ini kelas kami kehadiran murid baru. Namanya Dina, beliau siswi pindahan dari Jakarta. Dina tampak pendiam, entah pendiam atau angkuh sampai-sampai beliau tak ingin memperkenalkan dia sendiri. Bu guru memintanya duduk di sebelah Yuli sebab kebetulan kursi di sebelah Yuli yg kosong. Yuli murid yg paling egois di kelas, bisa saja dikarenakan ia merasa murid paling pintar di kelas. Namun menurut kawan-kawan yg sempat sebangku dengannya, dirinya seperti senantiasa menyembunyikan sesuatu, terkadang seperti orang ketakutan. & ada pun yg bilang ia senang mencontek ketika ulangan. "tampaknya mereka bakal menjadi pasangan sebangku yg pas, sama-sama pendiam sih, atau barangkali sama-sama sombong" pikirku sejenak.
Nada Bu Dini sang wali kelas meminta perhatian membangunkanku dari pikiran-pikiran yg ada dalam kepalaku. Kami mengawali pembelajaran seperti biasa. Hri ini kami menggali ilmu Matematika, & betapa terkejutnya saya demikian serta kawan-kawan lainnya menonton Dina dapat cepat menguasai yg sedang dipelajari bersama baik. Ia demikian yakin diri mengerjakan soal-soal di papan catat. & Bu Guru berikan reword bersama tepuk tangan & seluruhnya kawan-kawan di kelas ikut tepuk tangan. & saya tidak sengaja menyaksikan ekspresi Yuli yg memerah & seperti orang ketakutan. Saya penasaran mengapa Yuli dapat demikian egois atau lebih tepatnya ambisius senantiasa mau menjadi yg paling baik dalam tiap-tiap pembelajaran sampai tak menghiraukan orang lain, kurang berinteraksi bersama baik kala dgn kawan-kawan yg lain demikian serta kala bersamaku. Saya makin penasaran memikirkan factor itu, ada rasa kasihan lantaran dirinya tak mempunyai sohib. Tetapi dipikir-pikir lagi itu bukan urusanku.
Bel pulang sudah berbunyi, rekan-rekan sekelasku nampak demikian sumringah ketika menjelang ketika pulang. Mungkin Saja mereka memikirkan hal-hal yg bakal mereka melaksanakan sepulang sekolah semisal makan makanan yg enak, berbincang-bincang bersama ortu, jalan-jalan & main-main sesuka hati, dll. Tapi saya sepintas menonton ke wajah Yuli, beliau tak terlihat begitu, wajahnya kelihatan murung. Namun saya lagi-lagi berpikir bahwa itu bukan urusanku & bergegas pulang.
***
Berhari-hari, berminggu-minggu, bebulan-bulan, Dina top di kelas & nilai hasil ulangan Dina serta melebihi nilai hasil ulangan Yuli. Yuli nampak amat sangat putus asa, mengetahui perihal tersebut Yuli berlari ke luar entah kemana beliau dapat bertolak. Saya yg penasaran juga berlari ke arah Yuli berlari. Saya mengikutinya dgn agak ragu-ragu. Tidak seperti rata-rata, kali ini entah mengapa saya mau ikut campur urusan orang lain? Saya mengikuti Yuli sampai berakhir di kamar mandi. Saya terdiam di depan pintu kamar mandi, coba meneliti, cobalah mendengarkan apa yg sedang ia jalankan, “apakah beliau sedang buang air mungil? Apakah beliau sedang buang air akbar? Apakah beliau bakal bunuh diri sebab nilainya dikalahkan? Hadduh… demikian tidak sedikit dugaan dalam pikiranku.” Saya coba mendengarkan lagi dgn hati-hati, nampaknya saya mendengar nada tangisan. Kayaknya Yuli sedang menangis.
“apa yg sedang anda melaksanakan di sini Nis?” tiba-tiba ada nada yg tanya kepadaku. Nyatanya itu nada Leni sohib sebangkuku.
“i…ii..ini saya lagi nunggu yg ada di dalem ke luar, saya mau Buang air mungil Len.” Jawabku agak panik.
“bukannya itu kamar mandi sebelah pun kosong ya?” tukas Leni.
“aku gak gemar kamar mandi yg lain. Saya lebih senang yg ini! Jawabku sedikit modus. Leni mengernyit sambil menonton ke arahku.
“hmm… anda ada-ada saja!” Leni berkomentar sambil menuju kamar mandi sebelah. Tidak lama selanjutnya Yuli ke luar dari kamar mandi.
“kamu telah selesai Yul?” tanyaku sambil bakal masuk ke kamar mandi. Tapi kayaknya Yuli tak mood utk menjawab. Ia melihatku dgn sinis & serentak berlalu berangkat.
Tidak lama sesudah itu saya kembali ke kelas & bel pulang tengah berbunyi. Saya menonton ke sekeliling kelas, nyata-nyatanya Yuli telah tiada di area duduknya, pula tiada di kelas. Saya tanya kepad Dina.
“Kemana Yuli?”
“aku tak tahu!” jawabnya bersama suara angkuhnya & sudah siap menggendong tasnya utk serta-merta pulang.
“Dina!” Panggilku.
“apa?” jawabnya sinis.
“bisa minta tolong?” pintaku
“minta tolong? Padaku?”
“iya Din. Maukah anda membantuku menyelidiki Yuli?” Jawabku.
“atas basic apa anda berani meminta tolong padaku yg belum lama anda kenal?” jawab Dina bersama ketus.
“atas basic kepercayaanku bahwa anda orang baik!” jawabku bersama menghela nafas demikian pelan.
“memangnya dirinya mengapa?” tanyanya agak penasaran.
“justru itu yg mau saya cari tahu. Ia nampak seperti orang yg tertekan!” jawabku biarpun kurang percaya.
“baiklah, saya piker-pikir dahulu.” Jawabnya bersama suara kesombongan & cepat bergegas berangkat. & saya menghela napas demikian panjang. Sambil berpikir, “sejak kapan saya sanggup berkata demikian sabar dgn orang seperti itu?”
***
Keesokan harinya, saya & Dina mengikuti Yuli disaat pulang sekolah. Dipikir-pikir, kami terlihat seperti seseorang penguntit. Namun tidak apalah, cukup seumur hidup sekali. Di perjalanan kami saling diam seperti dua orang bisu yg berlangsung dengan. Dulu saya mengupayakan menggandeng Dina bicara.
“kenapa anda ingin membantuku?” tanyaku kepada Dina.
“entahlah… saya serta sedang mencari jawabannya mengapa saya ingin membantumu!” jawab Dina bersama ketus.
Kami masihlah mengikuti Yuli diam-diam. Tiba-tiba Yuli belok kea rah kiri, “apa beliau sudah hingga di rumahnya?” Pikirku.
Kami pula mengikutinya belok ke kiri. Nyata-nyatanya benar dirinya sudah hingga di rumahnya. Rumahnya demikian mungil & terbuat dari bilik yg telah berlubang, kelihatan bernoda, & lebih kelihatan seperti satu buah gubuk yg dapat serentak ambruk. Saya & Dina mengintip ke dalam rumah lewat lubang-lubang kepada bilik. Kami menyaksikan ada seseorang ibu yg terbaring seperti orang sakit, & ada dua anak mungil cowok & wanita yg tampak demikian kurus. Mungkin Saja ibu-ibu itu ialah ibunya Yuli, & anak-anak mungil itu yakni adiknya. Kami mengamati kondisi rumah itu terlampaui focus sampai lupa memperhatikan Yuli yg nyatanya telah ga ada di dalam. Tiba-tiba dari belakang kami ada yg mnepuk punggung kami. Alangkah terkejutnya kami saat tahu yg memegang pundak kami merupakan Yuli.
“Yu..yuu..yuli!” saya berkata sambil tercengang.
Dina cuma mampu diam saja & memamerkan wajah angkuhnya. Saya mengamati bahwa wajah Yuli menunjukkan wajah kurang sukanya.
“Maafkan kami Yul… kami tak bermaksud…” sebelum saya selesai berkata, Yuli memotong pembicaraanku.
“sudah…bila kalian tak mempunyai kebutuhan, kalian sanggup langsung berangkat dari sini!” Pinta Yuli. “Dan kalian mampu sebarkan apa yg kalian tonton terhadap kawan-kawan di sekolah!” tambah Yuli sambil masuk ke rumahnya & serentak menutup pintunya.
Saya & Dina cuma dapat diam & bergegas bertolak meninggalkan rumah Yuli. & mengambil sedikit rasa kecewa & tidak sedikit rasa penasaran.
“apa yg mesti kita jalankan?” tanyaku lagi bingung.
“tak ada yg butuh kita melaksanakan, kita saksikan saja apa yg dapat berjalan. Baru kelak kita dapat bertindak. Lantaran sesuatu yg bertopeng sebuah kala tentu dapat terungkap apa yg ada di balik topeng itu.” Jawab Dina bersama penuh keyakinan. & saya cuma dapat terdiam & memandang wajah serius Dina lekat-lekat.
***
Hri berikutnya, Yuli tak masuk sekolah sewaktu sekian banyak hri. Saya merasa bersalah, apakah Yuli tak sekolah sebab perbuatanku sekian banyak dikala dulu yg mendatangi rumahnya? Padahal niatku pass baik, saya cuma mau berteman baik, & seandainya ia mempunyai masalah saya & Dina cuma mau membantunya. Saya tak lumayan tau, tapi menurut surat yg Yuli kirim ke sekolah, beliau ijin ada kepentingan keluarga. hal itu menciptakan saya & Dina penasaran, & kami memutuskan utk mendatangi rumah Yuli lagi.
Sesampainya di rumah Yuli, kami menonton rumah itu kosong. & kami tanya terhadap tetangga yg ada di dekat rumahnya. Kami mendapat info bahwa Yuli sedang berangkat ke rumah sakit. Saya & Dina langsung mencari rumah sakit yg didatangi Yuli. Bersama dikala yg lumayan lama, kami menemukan Yuli. Kami menonton ia sedang menjaga ibunya yg sakit. Kami mengetuk pintu & Yuli terbangun. Yuli terperanjat waktu menonton kami berdua. Kemungkinan pun dirinya merasa malu.
“ada apa kalian ke sini?” Bertanya Yuli sinis.
“kami cuma mau tahu kedaanmu, kami khawatir padamu, telah sekian banyak hri anda tak masuk sekolah. Biarpun kita tak demikian dekat, kita terus kawan sekelas. Menjadi tak apa-apakan apabila kami merasa peduli denganmu?” jawabku agak panik.
“peduli seperti apa?” sanggah Yuli.
“peduli utk membantumu kalau kau butuh pertolongan, peduli menghiburmu kalau anda sedang sedih.” Jawabku.
“tapi hidupku tak sesederhana itu. Hidupku pass rumit.” Jawab Yuli dgn mata yg memerah.
“justru itulah di mana anda mesti sharing & saling menolong. Dgn rekan, debgan rekan aspek yg susah maupun faktor yg rumit dapat jadi lebih sederhana.” Jawabku.
“untuk mengobati ibuku, utk berikan makan adik-adikku, saya cuma mengandalkan duit beasiswa dari sekolah.” Seru Yuli.
“jadi itu sebabnya anda teramat ambisius di kelas?” tanyaku.
“hmmm… dikarenakan dgn nilai yg baik saya mampu mempertahankan beasiswaku. Kalau nilaiku turun sedikit saja, kapan juga beasiswaku sanggup dicabut.
Dina terperangah mendengar aspek tersebut. Baru saat ini ia berjumpa satu orang yg berjuang setengah mati buat suatu nilai paling baik & buat bersi teguh hidup. Sedangkan ia sampai kini menyepelekan nilai baik yg senantiasa ia temukan dgn gampang sebab otaknya yg sangan pintar & cerdas. Sampai ia lupa caranya bersyukur. Barangkali ini salah satu argumen mengapa beliau dikirim ke desa oleh orangtuanya, supaya dirinya meraih sesuatu yg bernilai dari sini.
“aku dapat membantumu buat meraih nilai yg baik tidak dengan mesti mencontek, dll!” seru Dina.
“benarkah?” Bertanya Yuli.
“beberapa hri lagi saya bakal kembali ke Jakarta, ada tidak sedikit buku di rumahku, banyaklah membaca! Senantiasa luangkanlah dikala buat membaca! Kita hidup seperti perjuangan, bukan satu buah perjuangan jika anda pilih jalan pintas utk memperoleh sesuatu. Tuhan tidak dapat menghalalkan sebuah factor yg haram dgn argumen apapun. Dikarenakan segala sesuatu telah ditetapkan. Kita cuma butuh perjuangan utk meraihnya.” Seru Dina.
“ternyata anda demikian bijak” saya berkomentar.
“bukan menyangkut bijak atau tak bijak, ini berkenaan bagaiman kita menyikapi hidup kita sendiri. Sekarang saya menemukan jawaban mengapa saya ingin mengikutimu hingga waktu ini Nis! Dari Yuli saya menemukan dengan cara apa trick bersyukur, dari kamu(Nisa) saya menemukan bagaimanakah caranya berteman. & tidak ada salahnya apabila saya menolong kalian yg kesusahan mempelajari!” tukas Dina sambil agak tersenyum memamerkan kesombongannya.
Kami juga tertawa bersama-sama menonton tingkah angkuh Dina yg kelihatan konyol. & sejak hri ini, kami sejak mulai bersahabat. Yuli yg senantiasa berjuang, & saya yg berjuang bersamanya. Dina yg seterusnya kembali ke Jakarta, tetapi kami tak sempat putus interaksi. Kami senantiasa berkirim pesan atau kami tidak jarang berbicara melalui telpon, diskusi berkenaan tidak sedikit perihal. Dikarenakan kami percaya bahwa persahabatan tidak ingin terhalang oleh jarak. & inilah kami para pejuang hidup yg tetap menyusuri jalan yg tidak ada ujung. Di atas jalan itulah kami tetap berjuang. Inilah yg disebut jalan tiada ujung yg dikatakan ibu, yg dikatakan Ibu Guru, senantiasa ada perjuangan dalam hidup.
Sahabat bisa kita dapatkan dari sesuatu yang tak kita duga
(Cerpen ini terinspirasi dari novel “Jalan Tak Ada Ujung” karya Mochtar Lubis)
Oleh
Anis Handayani
Mahasiswi di FKIP UPI Tasikmalaya
Prolog
Seorang tak tau kapan dirinya dilahirkan, kapan beliau wafat, & dengan cara apa ia ditakdirkan. Sekian Banyak orang ditakdirkan hidup bahagia, orang-orang ditakdirkan hidup menderita, sekian banyak orang ditakdirkan hidup dalam ketakutan. Kita hidup bagai menyusuri jalan. Jalan itu ga ada ujungnya, tiap-tiap seolah dapat hingga ke ujungnya, tentu ada jalan lain. Kita tidak sempat tau di mana ujung jalan itu, mungkinkah ujung jalan itu merupakan di mana lokasi yg kita tuju? Demikian pula bersama hidup kita, kita tidak sempat tau kapan hidup kita berujung, kita bahkan tidak sempat tau takdir kita seperti apa. Takdir itu seperti satu buah tikungan, kita tidak sempat tau apa yg ada di balik tikungan itu, entah sesuatu yg membahayakan (menyedihkan), entah sesuatu yg indah (menyenangkan).
Penulis narasi ini bernama Anis Handayani. Lahir di daerah yg bisa jadi kurang populer adalah di Ciamis-Jawa Barat. Ia mempunyai hobi posting puisi & menyanyi. Ia satu orang yg tetap dalam proses mencari jati dia yg sesungguhnya. Ia amat sangat suka warna hijau. Beliau mempunyai nama pena El-Croma Nisyani. Saat Ini beliau sedang menjalani kuliahnya di Kampus Pendidikan Indonesia Jurusan PGSD, & sedang duduk di Interes Bahasa Indonesia.
PERSAHABATAN DI ATAS JALAN tiada UJUNG
Di hri pekan siang ini, Desa Sukahurip diguyur hujan demikian lebat. Cahaya kilat bagai lidah api yg menjilat-jilat & nada Guntur menderu-deru seakan siap merontokkan jantung tiap-tiap orang yg mendengarnya. Saya menyibak tirai jendela, dari jendela rumah saya menonton ke halaman rumah yg rata-rata ramai bersama anak-anak mungil yg main-main di hri libur, sekarang tampak demikian sepi. Warung Pak Damrah dipinggir jalan yg kebanyakan kelihatan hangat bersama keramaian juga sekarang ini kelihatan demikian dingin, nampaknya dapat cepat ditutup. Saya pula menonton ke arah jalan yg serta tampak sepi, padahal kebanyakan demikian tidak sedikit kendaraan yg berlalu lalang di sana. Dari kendaraan tradisional seperti beca sampai kendaraan trendi seperti mobil tidak jarang melintasi jalan itu. Entah kenapa hri ini demikian sepi. Mungkinkah dikarenakan hri hujan? Saya tetap memandang jalan yg nampak demikian panjang. Sampai teringat kepada kata-kata Bu Guru, saya pula bertanya-tanya terhadap diri sendiri “apakah benar yg dikatan Bu Guru jika jalan itu tidak ada ujungnya?”
“Nisa, mengapa tirainya tak di tutup Nak? Apa anda tak takut menyaksikan kilat?” terdengar nada ibu yg mengagetkanku dari belakang.
“oh iya Bu, dapat Nisa tutup.” Jawabku bersama suara terperanjat & serta-merta menutup tirai jendelanya. “oya Bu, apa benar jikalau jalan itu tiada ujungnya? Soalnya tempo hari Ibu Guru bilang demikian.” tanyaku penasaran. Tapi Ibu tak serentak menjawab. Saya juga mengulangi pertanyaanku sekali lagi. Barulah Ibu mengajakku duduk & menjawab pertanyaanku.
“iya, Nisa. Bukankah dimana-mana tentu ada jalan? Itu bukti bahwa jalan tidak ada ujungnya. Dikarenakan tiap-tiap kita seakan-akan nyaris menemukan ujung jalan, tentu bakal ada jalan lain, entah itu belok kiri, belok kanan maupun masih lurus. Sebab yg jadi ujung itu sendiri bukan jalannya nak, namun maksud kita sendiri. Dalam aspek apa pula itu.”
“Tujuan itu apa Bu?” tanyaku yg tetap kurang mengerti.
“Tujuan ialah tujuan kita nak, tujuan yg mau diperoleh. Misalnya begini, seandainya anda lapar tentu dapat makan. & maksud dari makan itu yaitu biar anda kenyang nak.” Jawab ibu utk membuatku mengerti.
* * *
Saya pergi ke SD seperti kebanyakan, mengikuti upacara bendera pula seperti kebanyakan. Tetapi waktu saya masuk ke dalam kelas, ada elemen yg tak biasa, yakni hri ini kelas kami kehadiran murid baru. Namanya Dina, beliau siswi pindahan dari Jakarta. Dina tampak pendiam, entah pendiam atau angkuh sampai-sampai beliau tak ingin memperkenalkan dia sendiri. Bu guru memintanya duduk di sebelah Yuli sebab kebetulan kursi di sebelah Yuli yg kosong. Yuli murid yg paling egois di kelas, bisa saja dikarenakan ia merasa murid paling pintar di kelas. Namun menurut kawan-kawan yg sempat sebangku dengannya, dirinya seperti senantiasa menyembunyikan sesuatu, terkadang seperti orang ketakutan. & ada pun yg bilang ia senang mencontek ketika ulangan. "tampaknya mereka bakal menjadi pasangan sebangku yg pas, sama-sama pendiam sih, atau barangkali sama-sama sombong" pikirku sejenak.
Nada Bu Dini sang wali kelas meminta perhatian membangunkanku dari pikiran-pikiran yg ada dalam kepalaku. Kami mengawali pembelajaran seperti biasa. Hri ini kami menggali ilmu Matematika, & betapa terkejutnya saya demikian serta kawan-kawan lainnya menonton Dina dapat cepat menguasai yg sedang dipelajari bersama baik. Ia demikian yakin diri mengerjakan soal-soal di papan catat. & Bu Guru berikan reword bersama tepuk tangan & seluruhnya kawan-kawan di kelas ikut tepuk tangan. & saya tidak sengaja menyaksikan ekspresi Yuli yg memerah & seperti orang ketakutan. Saya penasaran mengapa Yuli dapat demikian egois atau lebih tepatnya ambisius senantiasa mau menjadi yg paling baik dalam tiap-tiap pembelajaran sampai tak menghiraukan orang lain, kurang berinteraksi bersama baik kala dgn kawan-kawan yg lain demikian serta kala bersamaku. Saya makin penasaran memikirkan factor itu, ada rasa kasihan lantaran dirinya tak mempunyai sohib. Tetapi dipikir-pikir lagi itu bukan urusanku.
Bel pulang sudah berbunyi, rekan-rekan sekelasku nampak demikian sumringah ketika menjelang ketika pulang. Mungkin Saja mereka memikirkan hal-hal yg bakal mereka melaksanakan sepulang sekolah semisal makan makanan yg enak, berbincang-bincang bersama ortu, jalan-jalan & main-main sesuka hati, dll. Tapi saya sepintas menonton ke wajah Yuli, beliau tak terlihat begitu, wajahnya kelihatan murung. Namun saya lagi-lagi berpikir bahwa itu bukan urusanku & bergegas pulang.
***
Berhari-hari, berminggu-minggu, bebulan-bulan, Dina top di kelas & nilai hasil ulangan Dina serta melebihi nilai hasil ulangan Yuli. Yuli nampak amat sangat putus asa, mengetahui perihal tersebut Yuli berlari ke luar entah kemana beliau dapat bertolak. Saya yg penasaran juga berlari ke arah Yuli berlari. Saya mengikutinya dgn agak ragu-ragu. Tidak seperti rata-rata, kali ini entah mengapa saya mau ikut campur urusan orang lain? Saya mengikuti Yuli sampai berakhir di kamar mandi. Saya terdiam di depan pintu kamar mandi, coba meneliti, cobalah mendengarkan apa yg sedang ia jalankan, “apakah beliau sedang buang air mungil? Apakah beliau sedang buang air akbar? Apakah beliau bakal bunuh diri sebab nilainya dikalahkan? Hadduh… demikian tidak sedikit dugaan dalam pikiranku.” Saya coba mendengarkan lagi dgn hati-hati, nampaknya saya mendengar nada tangisan. Kayaknya Yuli sedang menangis.
“apa yg sedang anda melaksanakan di sini Nis?” tiba-tiba ada nada yg tanya kepadaku. Nyatanya itu nada Leni sohib sebangkuku.
“i…ii..ini saya lagi nunggu yg ada di dalem ke luar, saya mau Buang air mungil Len.” Jawabku agak panik.
“bukannya itu kamar mandi sebelah pun kosong ya?” tukas Leni.
“aku gak gemar kamar mandi yg lain. Saya lebih senang yg ini! Jawabku sedikit modus. Leni mengernyit sambil menonton ke arahku.
“hmm… anda ada-ada saja!” Leni berkomentar sambil menuju kamar mandi sebelah. Tidak lama selanjutnya Yuli ke luar dari kamar mandi.
“kamu telah selesai Yul?” tanyaku sambil bakal masuk ke kamar mandi. Tapi kayaknya Yuli tak mood utk menjawab. Ia melihatku dgn sinis & serentak berlalu berangkat.
Tidak lama sesudah itu saya kembali ke kelas & bel pulang tengah berbunyi. Saya menonton ke sekeliling kelas, nyata-nyatanya Yuli telah tiada di area duduknya, pula tiada di kelas. Saya tanya kepad Dina.
“Kemana Yuli?”
“aku tak tahu!” jawabnya bersama suara angkuhnya & sudah siap menggendong tasnya utk serta-merta pulang.
“Dina!” Panggilku.
“apa?” jawabnya sinis.
“bisa minta tolong?” pintaku
“minta tolong? Padaku?”
“iya Din. Maukah anda membantuku menyelidiki Yuli?” Jawabku.
“atas basic apa anda berani meminta tolong padaku yg belum lama anda kenal?” jawab Dina bersama ketus.
“atas basic kepercayaanku bahwa anda orang baik!” jawabku bersama menghela nafas demikian pelan.
“memangnya dirinya mengapa?” tanyanya agak penasaran.
“justru itu yg mau saya cari tahu. Ia nampak seperti orang yg tertekan!” jawabku biarpun kurang percaya.
“baiklah, saya piker-pikir dahulu.” Jawabnya bersama suara kesombongan & cepat bergegas berangkat. & saya menghela napas demikian panjang. Sambil berpikir, “sejak kapan saya sanggup berkata demikian sabar dgn orang seperti itu?”
***
Keesokan harinya, saya & Dina mengikuti Yuli disaat pulang sekolah. Dipikir-pikir, kami terlihat seperti seseorang penguntit. Namun tidak apalah, cukup seumur hidup sekali. Di perjalanan kami saling diam seperti dua orang bisu yg berlangsung dengan. Dulu saya mengupayakan menggandeng Dina bicara.
“kenapa anda ingin membantuku?” tanyaku kepada Dina.
“entahlah… saya serta sedang mencari jawabannya mengapa saya ingin membantumu!” jawab Dina bersama ketus.
Kami masihlah mengikuti Yuli diam-diam. Tiba-tiba Yuli belok kea rah kiri, “apa beliau sudah hingga di rumahnya?” Pikirku.
Kami pula mengikutinya belok ke kiri. Nyata-nyatanya benar dirinya sudah hingga di rumahnya. Rumahnya demikian mungil & terbuat dari bilik yg telah berlubang, kelihatan bernoda, & lebih kelihatan seperti satu buah gubuk yg dapat serentak ambruk. Saya & Dina mengintip ke dalam rumah lewat lubang-lubang kepada bilik. Kami menyaksikan ada seseorang ibu yg terbaring seperti orang sakit, & ada dua anak mungil cowok & wanita yg tampak demikian kurus. Mungkin Saja ibu-ibu itu ialah ibunya Yuli, & anak-anak mungil itu yakni adiknya. Kami mengamati kondisi rumah itu terlampaui focus sampai lupa memperhatikan Yuli yg nyatanya telah ga ada di dalam. Tiba-tiba dari belakang kami ada yg mnepuk punggung kami. Alangkah terkejutnya kami saat tahu yg memegang pundak kami merupakan Yuli.
“Yu..yuu..yuli!” saya berkata sambil tercengang.
Dina cuma mampu diam saja & memamerkan wajah angkuhnya. Saya mengamati bahwa wajah Yuli menunjukkan wajah kurang sukanya.
“Maafkan kami Yul… kami tak bermaksud…” sebelum saya selesai berkata, Yuli memotong pembicaraanku.
“sudah…bila kalian tak mempunyai kebutuhan, kalian sanggup langsung berangkat dari sini!” Pinta Yuli. “Dan kalian mampu sebarkan apa yg kalian tonton terhadap kawan-kawan di sekolah!” tambah Yuli sambil masuk ke rumahnya & serentak menutup pintunya.
Saya & Dina cuma dapat diam & bergegas bertolak meninggalkan rumah Yuli. & mengambil sedikit rasa kecewa & tidak sedikit rasa penasaran.
“apa yg mesti kita jalankan?” tanyaku lagi bingung.
“tak ada yg butuh kita melaksanakan, kita saksikan saja apa yg dapat berjalan. Baru kelak kita dapat bertindak. Lantaran sesuatu yg bertopeng sebuah kala tentu dapat terungkap apa yg ada di balik topeng itu.” Jawab Dina bersama penuh keyakinan. & saya cuma dapat terdiam & memandang wajah serius Dina lekat-lekat.
***
Hri berikutnya, Yuli tak masuk sekolah sewaktu sekian banyak hri. Saya merasa bersalah, apakah Yuli tak sekolah sebab perbuatanku sekian banyak dikala dulu yg mendatangi rumahnya? Padahal niatku pass baik, saya cuma mau berteman baik, & seandainya ia mempunyai masalah saya & Dina cuma mau membantunya. Saya tak lumayan tau, tapi menurut surat yg Yuli kirim ke sekolah, beliau ijin ada kepentingan keluarga. hal itu menciptakan saya & Dina penasaran, & kami memutuskan utk mendatangi rumah Yuli lagi.
Sesampainya di rumah Yuli, kami menonton rumah itu kosong. & kami tanya terhadap tetangga yg ada di dekat rumahnya. Kami mendapat info bahwa Yuli sedang berangkat ke rumah sakit. Saya & Dina langsung mencari rumah sakit yg didatangi Yuli. Bersama dikala yg lumayan lama, kami menemukan Yuli. Kami menonton ia sedang menjaga ibunya yg sakit. Kami mengetuk pintu & Yuli terbangun. Yuli terperanjat waktu menonton kami berdua. Kemungkinan pun dirinya merasa malu.
“ada apa kalian ke sini?” Bertanya Yuli sinis.
“kami cuma mau tahu kedaanmu, kami khawatir padamu, telah sekian banyak hri anda tak masuk sekolah. Biarpun kita tak demikian dekat, kita terus kawan sekelas. Menjadi tak apa-apakan apabila kami merasa peduli denganmu?” jawabku agak panik.
“peduli seperti apa?” sanggah Yuli.
“peduli utk membantumu kalau kau butuh pertolongan, peduli menghiburmu kalau anda sedang sedih.” Jawabku.
“tapi hidupku tak sesederhana itu. Hidupku pass rumit.” Jawab Yuli dgn mata yg memerah.
“justru itulah di mana anda mesti sharing & saling menolong. Dgn rekan, debgan rekan aspek yg susah maupun faktor yg rumit dapat jadi lebih sederhana.” Jawabku.
“untuk mengobati ibuku, utk berikan makan adik-adikku, saya cuma mengandalkan duit beasiswa dari sekolah.” Seru Yuli.
“jadi itu sebabnya anda teramat ambisius di kelas?” tanyaku.
“hmmm… dikarenakan dgn nilai yg baik saya mampu mempertahankan beasiswaku. Kalau nilaiku turun sedikit saja, kapan juga beasiswaku sanggup dicabut.
Dina terperangah mendengar aspek tersebut. Baru saat ini ia berjumpa satu orang yg berjuang setengah mati buat suatu nilai paling baik & buat bersi teguh hidup. Sedangkan ia sampai kini menyepelekan nilai baik yg senantiasa ia temukan dgn gampang sebab otaknya yg sangan pintar & cerdas. Sampai ia lupa caranya bersyukur. Barangkali ini salah satu argumen mengapa beliau dikirim ke desa oleh orangtuanya, supaya dirinya meraih sesuatu yg bernilai dari sini.
“aku dapat membantumu buat meraih nilai yg baik tidak dengan mesti mencontek, dll!” seru Dina.
“benarkah?” Bertanya Yuli.
“beberapa hri lagi saya bakal kembali ke Jakarta, ada tidak sedikit buku di rumahku, banyaklah membaca! Senantiasa luangkanlah dikala buat membaca! Kita hidup seperti perjuangan, bukan satu buah perjuangan jika anda pilih jalan pintas utk memperoleh sesuatu. Tuhan tidak dapat menghalalkan sebuah factor yg haram dgn argumen apapun. Dikarenakan segala sesuatu telah ditetapkan. Kita cuma butuh perjuangan utk meraihnya.” Seru Dina.
“ternyata anda demikian bijak” saya berkomentar.
“bukan menyangkut bijak atau tak bijak, ini berkenaan bagaiman kita menyikapi hidup kita sendiri. Sekarang saya menemukan jawaban mengapa saya ingin mengikutimu hingga waktu ini Nis! Dari Yuli saya menemukan dengan cara apa trick bersyukur, dari kamu(Nisa) saya menemukan bagaimanakah caranya berteman. & tidak ada salahnya apabila saya menolong kalian yg kesusahan mempelajari!” tukas Dina sambil agak tersenyum memamerkan kesombongannya.
Kami juga tertawa bersama-sama menonton tingkah angkuh Dina yg kelihatan konyol. & sejak hri ini, kami sejak mulai bersahabat. Yuli yg senantiasa berjuang, & saya yg berjuang bersamanya. Dina yg seterusnya kembali ke Jakarta, tetapi kami tak sempat putus interaksi. Kami senantiasa berkirim pesan atau kami tidak jarang berbicara melalui telpon, diskusi berkenaan tidak sedikit perihal. Dikarenakan kami percaya bahwa persahabatan tidak ingin terhalang oleh jarak. & inilah kami para pejuang hidup yg tetap menyusuri jalan yg tidak ada ujung. Di atas jalan itulah kami tetap berjuang. Inilah yg disebut jalan tiada ujung yg dikatakan ibu, yg dikatakan Ibu Guru, senantiasa ada perjuangan dalam hidup.
TaamaaT