Pena dan Kertaz
(Cerpen Ini Terinspirasi Dari Novel Perahu Kertas)
Oleh :
Dewi Alpiani
Dewi Alpiani
Penulis adalah salah satu Mahasiswi di FKIP UPI Tasikmalaya
Namaku Keenan Satrianegara, biasa dipanggil Keenan. Aku merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Sejak kecil aku selalu diajarkan orang tuaku tentang arti kehidupan.
Aku sering kali mengkhayal. Seandainya nanti aku jadi orang sukses, pasti aku sangat senang sekali. Orang tuaku selalu berkata: “Bahwa dengan menuntut ilmu dan berusaha dengan sungguh-sungguh pasti apa yang kita inginkan akan tercapai”. Perkataan orang tuaku selalu kutanamkan dalam hatiku. Untuk itu aku selalu berusaha dengan sekuat tenaga agar bisa mengejar cita-cita. Cita-citaku ingin menjadi seorang pelukis.
Saat ini usiaku 12 tahun dan aku duduk di bangku kelas VI Sekolah Dasar. Aku bersekolah di Sekolah Dasar Negarakembang Bandung - Jawa Barat. Letak sekolahku tak jauh dari rumah hanya sekitar ±300 m saja.
Awal masuk sekolah pun tiba, setelah beberapa minggu aku libur sekolah. Mentari pagi menyambut hariku dengan penuh semangat. Mengawali hariku di kelas baruku ini. Aku tidak sabar untuk menyapa teman-teman yang sudah lama tidak bertemu. Eko dan Noni adalah teman dekatku di sekolah. Hampir dua minggu, aku tidak bertemu Eko dan Noni. Setiap hari di sekolah aku, Eko, dan Noni selalu bersama. Bagaimana tidak Eko dan Noni itu sudah 5 tahun selalu satu kelas denganku.
Dengan penuh rasa semangat, aku pun bersiap-siap untuk segera berangkat menuju sekolah. Setelah tiba di sekolah, aku bertemu teman-temanku dan mereka menyapaku.
“ Hai Keenan, liburan kemana saja?” tanya Eko dan Noni.
“Di rumah saja” jawabku.
“Teman-teman yang lain sudah datang?” tanyaku.
“Hampir sudah semua” jawab Eko.
“Sipp kalau begitu.. hehe” jawabku.
Beberapa menit kemudian suara lonceng sekolah berbunyi teng.. teng.. teng..
Seluruh siswa masuk ke kelasnya masing-masing. Suara berisik dan anak-anak yang sedang bercanda pun seolah hilang berhenti bersuara, mereka masuk kelas dengan senangnya. Suasana di luar kelas kini jadi hening.
Aku, Eko, Noni dan teman-teman yang lain segera berbaris dan masuk ke dalam kelas.
“Selamat pagi anak-anak” sapa guru baru kami yang masuk dari pintu depan.
“Selamat pagi Bu..” seruan kami penuh semangat.
“Perkenalkan ibu adalah wali kelas kalian yang baru. Nama ibu adalah bu Ida. Ibu tinggal di desa Sideraja sebelahan dengan desa Nagarakembang, kata bu Ida.”
Aku, Eko dan Noni pun terkejut. “Keenan ternyata bu Ida itu satu desa denganmu ya?” kata Eko. “Ya Eko aku juga baru tahu sekarang, hehe sambil tertawa” jawabku kepada Eko.
Ibu Ida berkata “anak-anak hari ini kita juga akan kedatangan murid baru.” Sekarang Ibu akan memperkenalkannya kepada kalian, sambil menunjuk ke arah anak baru tersebut.
Saat itu suasana kelas menjadi hening seketika, semua perhatian siswa tertuju kepada siswa baru tersebut. Keenan, Eko, Noni dan semua teman sekelasnya dibuat melongo.
“Eko, penampilan anak perempuan itu aneh sekali bisik Kenan”
“Ya benar, kata Eko sambil sedikit menertawakan”
“Selamat pagi teman-teman. Perkenalkan nama saya Kugy Alisya, biasa dipanggil Kugy”. sapanya.
“Selamat pagi” jawab seluruh siswa.
“Silahkan duduk Kugy, suruh bu Ida”
“Baik bu, jawab Kugy”
Kugy pun duduk dibangku yang kosong. Nah ibu harap kalian dapat berteman akrab dengan Kugy.
Anak-anak sekarang kalian sudah menjadi anak kelas VI Sekolah Dasar. “Ibu harap kalian bisa belajar dengan rajin dan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa meraih apa yang kalian harapkan, nasihat bu Ida.”
“Baik bu, kami mengerti” jawab seluruh siswa dengan penuh semangat.
“ Baiklah kalau begitu, mari kita mulai pelajarannya” ajak Ibu Ida.
Akhirnya pelajaran pun dimulai. Dengan suasana ceria dan gembira pelajaran dihari pertama pun berjalan dengan lancar.
Suara lonceng berbunyi menandakan waktunya istirahat. Semua siswa diperbolehkan keluar kelas. Tatapanku tiba-tiba tertuju pada kugy dan teman-teman. Aku melihat teman-temanku memandangi Kugy dengan aneh. Saat itu Kugy berjalan dengan menjinjitkan kaki. Aku, Eko dan Noni mencoba memperhatikan Kugy dengan seksama. Penampilannya memang terlihat sangat aneh tubuhnya kecil, kacamatanya besar, bajunya pun tidak begitu rapi.
Aku merasa kasihan saat Kugy sedang diejek teman-teman sekelasnya. Aku melihat Bimo akan menjahili Kugy. Bimo sengaja meletakkan kakinya agar Kugy tersandung. Aku berteriak, “Kugy awaaaaaaas”. Tapi terlambat, Kugy terjatuh semua anak tertawa. Aku menghampiri Kugy dan aku bantu berdiri serta ku ambilkan pula buku-bukunya.
“Terima kasih, Keenan!” Terima kasih, kulihat matanya berair. Kugy pun berlalu sambil tertatih-tatih. Semua terdiam termasuk Eko dan Noni ketika melihatku menolong Kugy.
“Keenan seorang anak yang cerdas dan selalu juara di kelasnya, menolong Kugy si murid aneh.” Ejek Bimo sambil tertawa. Aku pun tak menghiraukan ejekan Bimo.
Waktu istirahat telah habis. Aku belum sempat pergi ke kantin. Ibu Ida masuk ke kelas dan memberikan sedikit pengumuman. “anak-anak hari ini pembelajarannya cukup sampai di sini, kebetulan semua guru ada acara rapat. Kalian semua diperbolehkan pulang sekarang,” Kata bu Ida.
Ibu Ida pun keluar kelas. Kugy menghampiriku, “Keenan maukah pulang bersamaku?” kebetulan rumah baru orang tuaku searah denganmu. Tanya Kugy di depan semua anak lain. Kulihat Eko dan Noni tak bisa menahan tawa.
“Maaf Kugy, kamu pulang sama anak perempuan saja. Aku kan malu!” jawabku. Tak terasa air mataku hampir keluar, leherku tercekat sakit rasanya.
“Tapi yang lain tidak akan mau pulang denganku, Keenan!
“Kamu lain, kamu baik!” ia berkata begitu sambil berlari pergi.
Aku bingung! Kulihat Kugy pulang sendiri. Timbul rasa kasihan tapi aku takut diejek. Sesaat kemudian, aku teringat pesan mama “kalau berteman jangan memandang wajah, walau yang lain tidak suka, kamu harus punya sikap! Berteman atau tidak, turuti isi hatimu!”
Aku menghela napas, berlari mengejar Kugy dan berjalan disampingnya. Kugy memandangku, tersenyum. Tiba-tiba aku melihat wajahnya kini cerah, tak terasa aku pun ikut tersenyum. Tiba-tiba dari belakang Eko dan Noni menyusulku sambil berlari. Eko dan Noni meminta maaf kepadaku dan Kugy.
Aku dan Kugy akhirnya menjadi sahabat. Diam-diam aku menaruh rasa kagum kepada Kugy setelah aku mengenalnya. Di umur Kugy yang terbilang masih anak-anak, Kugy sudah memiliki bakat sebagai seorang penulis. Kugy sangat pandai membuat tokoh cerita seperti Pangeran lobak, Peri Seledri, Penyihir Nyi Kunyit, dan lain sejenisnya.
Kugy juga memiliki hobi mengumpulkan buku-buku dongeng sebagai inspirasinya. Buku-bukunya begitu banyak di rumahnya. Sejak kecil Kugy rajin menabung dan hasil tabungannya dibelikan buku-buku cerita dongeng. Di dalam benak Kugy banyak untaian cerita dongeng, Kugy sangat suka berkhayal. Cita-cita Kugy ingin menjadi seorang penulis dongeng. Hanya saja kelemahannya itu, Kugy sama sekali tidak bisa menggambar.
Aku dan Kugy memiliki hobi yang berbeda. Aku lebih senang menggambar dari pada menulis. Ketika waktu luang aku selalu menggambar apa pun yang ada dalam khayalanku.Terkadang dongeng yang dituliskan kugy, dibuat menjadi sebuah gambar.
Di Sekolah guru-guruku juga, termasuk bu Ida sering membimbing dan mengembangkan bakatku dan bakat Kugy. Bu Ida selalu memberikan motivasi dan nasihat kepadaku dan Kugy.
Hari demi hari pun kami lalui dengan kebersamaan sekalipun rasanya bagaikan neraka, bagi Kugy dan aku. Persahabatan kami menimbulkan gosip, semua temanku selalu mengatakan kami pacaran. Kugy selalu diolok-olok tetapi sekarang Kugy lebih tegar. Semenjak kehadiran Kugy, aku jadi tak begitu dekat lagi dengan Eko dan Noni. Eko dan Noni tidak begitu menyukai Kugy.
Aku dan Kugy saling membantu, saling berbagi, dan selalu menjaga perasaan satu sama lain. Saat di sekolah, aku dan Kugy selalu mendapatkan nilai bagus. Itu dikarenakan Aku dan Kugy selalu belajar bersama dan saling berbagi ilmu. Kadang aku dan Kugy saling berlomba untuk dapat menjadi yang terbaik.
Banyak yang kagum tapi tak jarang pula yang mengatakan Kugy menyontek. Menghadapi semua itu, Kugy tetap diam. Malah aku yang sering emosi karena membela Kugy. Aku sering menasehatinya untuk merapikan bajunya. Kadang orang tuaku menitipkan buku kumpulan dongeng untuk Kugy. Sering kulihat matanya berkaca-kaca saat aku memberikan sesuatu padanya. Kugy memang anak yang baik, hanya saja teman-temanku tidak mengenalnya dengan baik seperti aku.
Tahun ajaran sudah hampir selesai. Aku dan Kugy sibuk dengan persiapan masuk ke SMP. Teman-teman sekelas kini sudah jarang mengganggu Kugy dan aku.
Sambil duduk santai di taman sekolah, aku bertanya padanya “kamu melanjutkan SMP ke mana, Kugy?”
Sejenak Kugy hanya terdiam. “Keenan, orang tuaku akan transmigrasi ke Bali, sepertinya kita akan berpisah dan kita tidak akan satu sekolah lagi.” Jawab Kugy. Keenan melihat matanya Kugy berkaca-kaca.
“Kugy walaupun kita berpisah, tapi kita akan bersahabat selamanya.” Kataku sambil kupegang tangannya erat-erat. Mataku pun mulai basah. Kugy hanya diam menatapku.
“Kugy semangat ya, jangan menangis ingat raih cita-citamu!” Kata Keenan.
“Ya, Keenan juga harus wujudkan cita-cita Keenan” jawab Kugy.
“Aku berjanji Kugy kelak aku pasti jadi pelukis yang sukses.”
“Aku akan meraih impian itu Kugy” Kata Keenan
Semenjak itu aku kehilangan sahabat terbaikku, namun karena janjiku pada Kugy hatiku jadi merasa tergerak dan termotivasi. Aku berusaha dengan tekun agar cita-citaku bisa terwujud.
Sekarang 15 tahun telah berlalu aku, sudah tumbuh dewasa dan menjadi seorang pelukis muda yang terkenal di Bandung. Lama tidak bertemu dengan sahabatku, ternyata Kugy pun kini telah berhasil menjadi seorang penulis dongeng. Kugy mengucapkan banyak terima kasih kepadaku. Katanya sih akulah yang telah mengubah hidupnya dulu, hingga kini Kugy sukses. Aku merasa bahagia telah menjadi sahabat yang baik untuk Kugy.
Kugy kembali ke Bandung, aku dan Kugy kini bekerja sama. Kugy sebagai penulisnya dan akulah yang menjadikan lukisannya. Tulisannya menjadi inspirasiku dalam melukis. Pesahabatan Aku dan Kugy bagai sebuah Pena dan Kertas yang tidak akan pernah terpisahkan. Pena tak akan berguna tanpa sebuah kertas dan begitu pula sebaliknya. Pena dan Kertas akan bersatu dan menjadikannya sebuah karya.