KEAJAIBAN HATI
Diterjemahkan oleh Ahmad Fahmi Shahab
Tulisan berikut ini
adalah terjemahan karya Imam Ghazali yang berjudul 'Kimiyat as-Saadat'. Nama
lengkap ulama terkenal asal Iran ini adalah Abu Hamid Muhammad al-Ghazali
ath-Thusi asy-Syafii. Beliau dilahirkan tahun 450 H/1058 M di kota Thus di
propinsi Khurasan, Timur Laut Iran. Guru beliau adalah Imam al-Haramain
al-Juwaini, Imam madzhab Syafii di Naisabur. Setelah wafat al-Juwaini di tahun
484 H/1091 M al-Ghazali mendapat undangan dari Wazir wangsa Seljuk Nizamul Mulk
untuk mengajar pada sekolah tinggi Nizamiyah di Bagdad di bidang ilmu kalam,
fiqih dan filsafat.
Setelah empat tahun
mengajar beliau mengalami gejolak batin yang menyebabkan beliau berhenti
mengajar. Selama sebelas tahun berikut beliau mendalami ilmu dan praktek
tasawuf lewat menyepi dan mengembara ke Damsyik, Mekkah, Madinah, Yerusalem,
Hebron dan lain-lain tempat di Timur Tengah. Sekembalinya ke Persia di tahun
499 H/1106 M, lewat permintaan Fakhrul Muluk bin Nizamul Muluk beliau kembali
mengajar sekolah tinggi Nizamiyah di Naisabur. Tidak lama kemudian beliau
kembali ke kota kelahirannya dan hingga akhir hayatnya mengajar di madrasah dan
membimbing murid-murid tasawuf. Beliau wafat pada tanggal 14 Jumaidil Akhir 505
H/12 Desember 1111 M di Thus. Beliau banyak menulis buku dalam berbagai bidang,
contohnya 'Tahafut al-Falasifah' dalam bidang filsafat, 'Misykat al-Anwar'
dalam bidang tasawuf, 'Ihya Ulumuddin' karya monumental beliau serta 'Kimiyat
as-Saadat', yang kutipan terjemahannya akan dibaca berikut ini . Dalam
autobiografi beliau 'al-Munqidh min adh-Dhalal' dikatakan bahwa beliau adalah
Mujadid abad ke-6 Hijriah, sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Rasulullah SAW:
"Allah akan utus pada umat ini di awal setiap seratus tahun seseorang yang
membaharui urusan agamanya.".
Syariat Islam melarang kita menanyakan tentang zat
ruh/hati. Karenanya Rasulullah SAW., tidak menerangkan tentang masalah itu
ketika beliau ditanya. Allah SWT bersabda : "Mereka bertanya kepadamu
tentang ruh. Katakanlah: Ruh itu adalah termasuk perintah/urusan Tuhanku."
(QS 17:85) Lebih daripada itu beliau dilarang untuk menjawab : yaitu bahwa ruh
adalah zat ilahiah dan termasuk ke dalam alam perintah (alamul amr).
"Bukankah hak Allah untuk mencipta dan memerintah ?" (QS 7:54). Alam
perintah dan alam ciptaan (alamul khalq) adalah dua alam yang terpisah. Semua
benda yang padanya dapat digunakan istilah-istilah ukuran, luas dan besar
adalah termasuk alam ciptaan, karena kata 'khalq' (mencipta) pada awalnya
berarti mengukur. Akan tetapi ruh/hati manusia tidak memiliki luas dan besar
dan karenanya tidak dapat dibagi-bagi. Karena jika dapat dibagi-bagi maka pada
waktu yang bersamaan ia mengetahui suatu benda dengan satu bagiannya dan tidak
mengetahui benda itu dengan bagiannya yang lain, dengan kata lain dalam waktu
yang bersamaan tahu sekaligus tidak tahu. Hal itu tetapi tidak mungkin terjadi.
Meskipun begitu ruh ini adalah juga ciptaan, karena kata
'khalq' di samping berarti mengukur juga mencipta maka pengertian ini ruh juga
termasuk ke alam ciptaan, akan tetapi dalam pengertian yang lain termasuk ke
alam perintah, karena alam perintah terdiri dari benda-benda yang padanya
istilah-istilah ukuran, luas dan besar tidak dapat dipakai.
Karenanya orang-orang yang percaya bahwa ruh itu kekal
berada dalam kesalahan. Demikian pula mereka yang mengatakan, bahwa ruh itu
akibat dari sesuatu, karena akibat itu menunjukan adanya sebab, sedangkan ruh
itu adalah tabiat sebenarnya manusia dan seluruh tubuh adalah akibatnya.
Bagaimana mungkin ia adalah akibat dari sesuatu ? Akhirnya salah pula mereka
yang mengatakan, bahwa ruh adalah sebuah benda, karena benda itu dapat
dibagi-bagi sedangkan ruh tidak.
Akan tetapi terdapat pula sebuah benda lain yang juga
disebut ruh dan dapat dibagi-bagi yaitu ruh kehidupan (nyawa), yang juga
dimiliki oleh hewan. Akan tetapi ruh/hati yang kita sebut di sini adalah sarana
mengenal Tuhan, yang tidak dimiliki oleh hewan. Ia bukan tubuh atau akibat dari
sesuatu, melainkan sebuah zat yang sejenis dengan zat yang dimiliki malaikat.
Untuk mengerti hakikat ruh adalah sulit dan
menerangkannya dilarang oleh syariat. Untuk langkah-langkah awal di jalan agama
pengetahuan tentang hal itu juga tidak mendesak. Karena jalan ini dimulai
dengan jihad, dan barangsiapa berjuang dengan seharusnya, ilmu mengenai hal itu
datang dengan sendirinya tanpa perlu mendengarnya dari orang lain. Karena
pengetahuan ini merupakan salah satu hidayah Allah, sebagaimana sabda-Nya:
" Dan orang-orang yang berjihad untuk Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan
kepada mereka jalan-jalan Kami." (QS 29:69). Tetapi barangsiapa yang belum
mengakhiri perjuangan ini, kepadanya tidak boleh dibicarakan tentang hakikat
ruh ini.
Terdapat dua hal yang melandasi kemuliaan hati ini,
yaitu Ilmu dan Kekuasaan.
Kemuliaan hati yang dilandasi oleh ilmu terdiri pula
atas dua macam. Yang pertama dapat dimengerti oleh setiap orang, sedangkan yang
kedua bersifat lebih misterius. Yang pertama adalah, bahwa hati memiliki daya
mengetahui semua ilmu dan seni, melaluinya manusia mengerti semua kesenian,
memahami semua yang tertulis dalam buku, maupun mengerti geometri, berhitung,
ilmu kedokteran, astronomi dan ilmu hukum. Meskipun hati itu merupakan satu
kesatuan, yang tidak dapat dibagi-bagi, di dalamnya terdapat ruangan untuk segala
pengetahuan, bahkan seluruh dunia baginya tidak lebih daripada sebuah atom di
lautan. Dalam sekejap ia melesat dari bumi ke langit tertinggi dan berjalan
dari timur ke barat. Manusia dapat mengukur seluruh lengkung langit dan
mengetahui ukuran setiap bintang. Dengan tipuan ia menjaring ikan dari dasar
laut dan menangkap burung dari udara. Ia membuat hewan-hewan yang kuat seperti
unta, gajah dan kuda menjadi pelayannya. Ia jadikan pekerjaan segala ilmu yang
ada di dunia.
Semua pengetahuan ini didapatnya lewat panca indera.
Karenanya ia disebut ilmu zhahir, yang semua orang kenal cara mendapatkannya.
Lebih ajaib daripada hal itu adalah indera yang berada
di dalam hati yang terbuka ke alam ghaib, sebagaimana ke lima indera terbuka ke
alam syahadah. Kebanyakan orang hanya mengenal alam syahadah, padahal itu
hanyalah permukaan; dan sebagai jalan pengetahuan mereka hanya mengenal panca
indera, yang juga hanyalah permukaan.
Sebagai bukti, bahwa dalam hati itu ada sebuah jendela
ma'rifah itu ada dua hal. Pertama adalah tidur, karena ketika tidur seluruh
pintu indera tertutup, maka terbukalah jendela tersebut, lewatnya terlihat alam
ghaib dari lauhul mahfuz, sehingga orang yang tidur tersebut dapat melihat dan
mengetahui apa yang terjadi di masa depan, kadang-kadang dengan jelas,
kadang-kadang lewat gambar yang memerlukan penafsiran.
Tetapi di sini bukanlah tempatnya untuk menerangkan
tentang hakikat mimpi. Cukuplah diketahui: hati itu mirip sebuah cermin, begitu
pula lauhul mahfuz mirip sebuah cermin yang padanya tercatat semua peristiwa
dan kejadian. Sebagaimana pantulan dari sebuah cermin mencapai cermin yang lain
jika keduanya dihadapkan, maka akan tercermin pula semua catatan dari lauhul
mahfuz ke hati, jika hati itu bebas dari semua panca indera dan ia dihubungkan
dengan alam ghaib. Selama perhatian hati diarahkan ke panca indera, maka
terputuslah hubungan dengan alam ghaib. Dalam keadaan tidur, hati terbebas dari
semua panca indera , sehingga muncul kemampuannya untuk melihat alam ghaib.
Ketika indera telah berhenti bekerja, tentu saja daya khayal tetap bekerja,
sehingga apa-apa yang dicerap oleh hati terlihat sebagai gambar-gambar fantasi.
Daya khayal dan indera hilang ketika manusia telah mati, maka barulah hati
melihat semua itu tanpa selubung dan gambar-gambar fantasi, lalu dikatakan
kepada mereka: "Maka Kami singkapkan daripadamu tutup matamu, maka
penglihatanmu pada hari itu amat tajam." (QS 50:22). Selanjutnya :
"Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami,
kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang
yakin." (QS 32:12).
Bukti kedua adalah kenyataan, bahwa hampir tidak
terdapat seorangpun yang tidak pernah mengalami mendapat firasat. Hal seperti
itu datang tidak melalui jalan indera, melainkan langsung muncul dalam hati
tanpa diketahui darimana datangnya.
Cukuplah kedua bukti tersebut untuk dapat mengerti,
bahwa tidak semua pengetahuan berasal dari alam kasat mata, maka dari itu
ketahuilah, bahwa hati itu tidak berasal dari dunia ini, melainkan dari alam
ghaib. Baginya indera-indera yang diciptkan untuk alam syahadah ini merupakan
penghambat untuk mencerap alam yang lain itu, dan selama ia tidak bebas dari
indera-indera tersebut, hati ini tidak dapat menemukan jalan menuju alam ghaib.
Akan tetapi jangan disangka, bahwa jendela hati ke alam
ghaib hanyalah terbuka jika kita tidur atau mati saja. Tidaklah begitu,
melainkan jika seorang manusia dalam keadaan jaga selalu menjaga dirinya dari
kesalahan dan membersihkan hatinya dari amarah dan syahwat serta segala yang
buruk dan jahat di dunia ini, kemudian menyepi diri, menutup matanya serta
menenangkan semua indera lainnya, lalu menghubungkan hatinya dengan alam
samawi, seraya selalu berdzikir di dalam hati, tidak lewat ucapan :
"Allah! - Allah!", begitu lama, hingga ia kehilangan kesadaran atas
dirinya dan seluruh alam serta tidak tahu apa-apa lagi kecuali Allah, maka
terbukalah baginya, meskipun dia berada dalam keadaan jaga, jendela hati
tersebut, dan apa-apa yang orang lain hanya melihatnya dalam keadaan tidur,
dapat dilihatnya dalam keadaan jaga. Ruh para malaikat muncul di hadapannya
dalam bentuk-bentuk sangat elok, dan ia melihat para nabi serta menerima dari
mereka pengajaran dan bantuan, dan alam dunia dan langit ditunjukkan kepadanya.
Bagi siapa yang jalan ini terbuka, dia akan melihat hal-hal yang ajaib dan luar
biasa. Jika Rasulullah SAW bersabda : "Bumi tampak bagiku, dan padakau
ditunjukkan negeri-negeri timur dan barat.", atau dalam firman Allah SWT :
" Dan Kami perlihatkan kepada Ibrahim alam langit dan bumi."(QS
6:75), maka itu terjadi dalam keadaan ini. Bahkan semua pengetahuan para nabi
berasal dari jalan ini, tidak lewat jalan indera atau belajar. Untuk mencapai
jalan ini selalu diperlukan jihad, sebagaimana firman Allah SWT : "Serahkanlah
dirimu kepada-Nya dengan sebenar-benarnya" (QS 73:8), artinya: Jadikanlah
dirimu lepas dan bebas dari segala hal, pasrahlah kepada-Nya dan janganlah kamu
peduli dengan urusan dunia, karena semuanya akan Ia atur dengan sendirinya.
"Dialah Tuhan timur dan barat, tiada Tuhan melainkan Dia, maka ambillah
Dia sebagai pelindung" (QS 73:9), dan jika kamu mengambil Dia sebagai
pelindungmu, tetaplah bebas dan janganlah bercampur dengan manusia, melainkan
"bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan
cara yang baik" (QS 73:10).
Firman Allah tersebut adalah petunjuk untuk menjaga diri
dan berjihad membebaskan hati dari permusuhan terhadap manusia, dari
ketertarikan kepada dunia dan dari kebutuhan akan harta. Inilah jalan para
sufi, yang juga jalan para nabi.
Mencari pengetahuan lewat belajar adalah jalan para
ulama. Hal itu juga memiliki nilai yang tinggi, akan tetapi rendah dibandingkan
jalan para nabi dan pengetahuan para nabi dan wali, yang diperoleh langsung ke
hati-hati mereka oleh Allah tanpa campur tangan manusia.
Hakikat jalan pengetahuan ini diakui oleh banyak orang
baik melalui pengalaman sendiri maupun lewat pembuktian akal. Jika kamu tidak
dapat memahami hal ini baik lewat pengalaman sendiri, lewat pengajaran atau
pembuktian akal, maka setidak-tidaknya harus kamu percayai dan menganggapnya
benar, supaya kamu tidak tetap terkecualikan dari kesemua tiga tingkatan
tersebut dan menjadi kafir. Karena hal itu adalah salah satu keajaiban alam
hati (ruh), yang lewatnya kemuliaan hati manusia dapat dipahami.
Akan tetapi jangan disangka, bahwa hal ini hanya
dikhususkan bagi para nabi. Tidak, setiap manusia mempunyai kemampuan alamiah
untuk itu, sebagaimana setiap baja secara alamiah memiliki potensi untuk
dipoles menjadi cermin, yang padanya bayangan seluruh alam tercermin. Akan
tetapi sebagaimana pada setiap baja yang kehilangan kemampuan tersebut jika
terserang karat, maka hatipun akan kehilangan kemampuan asalnya jika nafsu
duniawi, kerakusan dan dosa-dosa mengarati dan menyelubunginya. "Setiap
bayi dilahirkan dengan fitrah, orangtuanyalah yang menjadikannya seorang
Yahudi, Nasrani atau Majusi." Bahwa setiap manusia memiliki kemampuan
tersebut, terbukti juga lewat firman Allah SWT, "Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka: 'Bukankah Aku ini Tuhanmu?'. Mereka menjawab: 'Ya.'"
(QS 7:172).
Setiap manusia yang berakal akan mengiyakan pertanyaan
"Apakah satu lebih banyak daripada dua?", meskipun tidak semua dari
mereka pernah mendengarnya atau pernah mengucapkannya, maksudnya pengakuan
kebenaran ini telah ada pada diri mereka dengan sendirinya. Sebagaimana
kemampuan mengetahui itu telah ada sejak lahir, maka begitu pula kemampuan
mengenal Tuhan telah ada pada setiap manusia sejak lahir, seperti disebutkan
dalam al Quran : "Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: 'Siapakah
yang menciptakan mereka?', niscaya mereka menjawab: 'Allah.'" (QS 43:87)
dan selanjutnya "Tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu." (QS 30:30).
Lewat pembuktian akal dan pengalaman dapat disimpulkan,
bahwa kemampuan tersebut tidak hanya dikhususkan bagi para nabi. Karena nabi
itu juga hanya manusia, sebagaimana firman Allah SWT: "Katakanlah:
'Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu.'" (QS 18:110).
Jika kepada seorang manusia jalan ini terbuka dan di
dalamnya kepadanya ditunjukkan semua hal yang mengantar kebaikan bagi manusia
serta ia mendapat tugas berdakwah tentang hal itu, maka semua hal yang
ditunjukkan kepadanya disebut "syariah", dirinya disebut "nabi/ rasul"
dan pengalaman khusunya disebut "mu'jizat". Sedangkan jika ia tidak
mengurusi hal dakwah, maka dia disebut "wali" dan pengalaman
khususnya disebut "karamah". Karena tidak semua yang mengalami hal
itu, harus mengurusi dakwah kepada manusia, melainkan Tuhanlah yang dapat
menentukan, bahwa dia tidak mendapatkan kewajiban berdakwah, apakah itu karena
syariah ketika itu masih baru, sehingga tidak memerlukan pembaruan, ataupun
karena syarat-syarat untuk dakwah tidak dimiliki oleh orang tersebut.
Karenanya kamu harus berusaha dengan sungguh-sungguh
mempercayai para nabi/wali dan mu'jizat/karamah mereka dan mempersiapkan diri,
karena hal-hal itu pada awalnya tergantung pada jihad/perjuangan dan tidak
terjadi dengan sembarangan. Akan tetapi tidak semua orang yang menebar benih,
memanen; tidak semua yang berjalan, sampai ke tujuan; dan tidak semua yang
mencari, mendapatkan; melainkan semakin berharga suatu barang, maka makin
banyak syarat untuk mendapatkannya dan makin sulit untuk menemukannya.
Ini adalah tingkat tertinggi dari pengetahuan manusia.
Akan tetapi tanpa mujahadah dan tanpa guru yang berpengalaman, yang telah
menapaki jalan itu, pencarian itu akan gagal. Dan jika kedua syarat tersebut
ada, sedangkan tidak ada rahmat dari Allah SWT dan dia tidak ditakdirkan untuk
memperoleh kebahagiaan tersebut, maka dia tidak akan mencapai tujuannya. Hal
tersebut berlaku pula bagi pencapaian tingkat Imam dalam ilmu zhahir dan segala
amal manusia.
Kini kamu telah mengetahui kemuliaan zat milik manusia
-yang disebut hati- dalam bidang ilmu. Akan tetapi ketahuilah, bahwa dalam
bidang kekuasaan terdapat pula kemuliaan, yang selain oleh manusia hanya
dimiliki oleh para malaikat, selain itu tidak ada makhluk lain yang ikut
memilikinya.
Sebagaimana alam kasar ini diatur oleh para malaikat,
sehingga dengan izin Allah, jika mereka anggap tepat dan perlu bagi manusia,
pada musim semi ditiupkan badai dan tumbuhan mulai muncul dalam bentuk
terbaiknya. Sebagaimana bagi setiap keperluan ini ada sekelompok malaikat yang
berkuasa mengaturnya, maka demikian juga hati manusia, yang hakikatnya berzat
sama dengan malaikat, diberikan kekuasaan untuk mengatur sebagian alam benda
ini.
Alam khusus bagi masing-masing hati adalah tubuhnya
sendiri. Jasad itu menuruti kehendak hati, karena dalam jari itu tidak ada hati
dan juga tiada pengetahuan dan kehendak, jika hati memerintahkan jari itu untuk
membengkok, maka bengkoklah jari itu; dan jika kemarahan muncul dalam hati,
maka mengalirlah keringat dari sekujur tubuh dengan deras; dan jika syahwat
merasuk, maka tubuh akan gelisah; dan jika ia berfikir tentang makanan, maka
mengalirlah air liur. Begitulah kita maklum, bahwa hati menguasai jasad dan
jasad menjadi pelayannya.
Akan tetapi harus kamu ketahui, bahwa beberapa hati,
yang memiliki tingkat lebih tinggi dan lebih mirip zat malaikat, mungkin mampu
mengatur benda-benda di luar jasadnya sendiri. Jika seekor singa bertemu
seorang seperti itu, maka singa itu akn menjadi jinak dan penurut; dan jika
manusia seperti itu memusatkan kehendaknya pada seorang pesakit, maka dia akan
sembuh, apabila terhadap orang yang sehat, maka akan sakit. Jika ia memusatkan
pikirannya pada seseorang agar dia datang kepadanya, maka tergeraklah pikiran
orang itu untuk datang kepadanya; jika ia berkehendak agar terjadi hujan, maka
turunlah hujan. Semua itu adalah mungkin, sebagaimana telah dibuktikan oleh
akal dan pengalaman. Kepadanya termasuk pula apa yang biasa disebut sihir. Itu
adalah akibat dari jiwa manusia terhadap suatu benda. Contohnya jika suatu
jiawa yang jahatmelihat seekor hewan yang bagus dan membayangkan dalam
pikirannya karena irihati kematian hewan tersebut, maka hewan itu dapat saja
segera mati. Sebagaimana ungkapan : "Mata itu membawa manusia ke kuburnya
dan unta ke panci."
Ini adalah sebagian kekuatan-kekuatan yang berada dalam
hati manusia. Jika kemampuan tersebut dimiliki oleh seseorang yang memiliki
kewajiban menyampaikan risalah kepada umat manusia, maka kekuatan tersebut
disebut mu'jizat; jika ia tidak memiliki kewajiban, maka disebut karamah; dan jika
seseorang menggunakan kekuatannya untuk kebaikan, maka orang itu disebut nabi
atau wali, akan tetapi jika kekuatan tersebut digunakan untuk kejahatan, maka
ia disebut tukang sihir. Sihir, karamah atau mu'jizat semuanya berasal dari
kekuatan khusus hati manusia, namun perbedaan di antara ketiganya sangat besar.
Tetapi untuk menerangkannya lebih lanjut diperlukan pembahasan khusus.
Barangsiapa tidak mengerti apa yang telah kami katakan
hingga kini, maka ia tidak tahu apa artinya kenabian. Katahuilah bahwa kenabian
dan kewalian adalah salah satu tingkatan-tingkatan kemuliaan hati. Ada tiga
ciri khusus yang menandainya. Pertama, apa-apa yang bagi orang biasa
diungkapkan dalam mimpi, bagi para nabi dan para wali diungkapkan dalam keadaan
jaga; kedua, jiwa manusia biasa berpengaruh hanya pada jasadnya sendiri,
sedangkan jiwa anbiya dan awliya berpengaruh juga ke selain jasadnya sendiri
dalam suatu cara yang bermanfaat bagi keselamatan manusia, sehingga tidak
muncul malapetaka; ketiga, pengetahuan yang bagi manusia biasa dicapai lewat
belajar, diperoleh mereka tanpa belajar dari dalam batin. Karena sebagaimana
mungkin bagi seseorang pintar berhati bersih memperoleh beberapa pengetahuan
dari dirinya sendiri tanpa belajar, maka mungkin jugalah bagi seseorang yang
lebih pintar dengan hati yang lebih bersih memperoleh seluruh pengetahuan tanpa
belajar, bahkan lebih daripada itu. Ilmu seperti itu biasa disebut "ilmu
laduni", sebagaimana firman Allah SWT.: "Dan telah Kami ajarkan ilmu
dari sisi Kami." (QS 18:65). Barangsiapa memeiliki ketiga ciri-ciri di
atas maka dia termasuk golongan anbiya atau awliya yang tertinggi. Dan
barangsiapa yang memiliki salah satu dari ketiga ciri-ciri tersebut telah
mencapai suatu tingkat tertentu. Pemilikan ketiga ciri-ciri tersebut tidaklah
sama, karena mungkin terdapat manusia yang memiliki sedikit dari ketiga ciri
itu, atau beberapa yang memiliki banyak dari ciri-ciri tersebut. Kesempurnaan
Rasulullah SAW berandaskan pada kesempurnaan pemilikan semua ciri-ciri itu.
Karena Tuhan berkehendak memungkinkan manusia menemukan
jalan nubuwah untuk diikutinya dan mempelajari jalan menuju kebahagiaan
lewatnya, maka diberikan oleh-Nya kepada tiap manusia bayangan dari ketiga
ciri-ciri di atas. Dia memberikan manusia mimpi sebagai bayangan dari ciri
pertama, kemampuan membaca air muka manusia (physiognomi) sebagai bayangan ciri
kedua dan inspirasi dalam bidang ilmu pengetahuan sebagai bayangan ciri ketiga.
Semua itu diberikan kepada manusia, karena baginya tidak mungkin untuk percaya
pada sesuatu yang samasekali asing baginya, karena segala sesuatu yang tidak
memiliki bayangan, tidak dapat dibayangkan olehnya. Dengan alasan ini pula
tidak seorang pun akan mengenal Tuhan secara sempurna, kecuali Tuhan sendiri.
Akan tetapi untuk menerangkan hal itu lebih lanjut akan membawa kita terlalu
jauh, lagipula kita telah membahasnya dalam sebuah buku mengenai arti nama-nama
Allah. Apa yang kami hendak katakan hanyalah : bahwa kami memnganggap mungkin,
bahwa para nabi dan para wali di luar ketiga ciri-ciri itu masih memiliki
ciri-ciri khusus lain, yang kita tidak ketahui, karena kita tidak memiliki
bayangan mengenai hal itu. Sebagaimana dikatakan, bahwa tidak seorangpun yang
mengenal Tuhan secara sempurna kecuali Tuhan, demikian pula seorang nabi dapat
dikenal secara sempurna hanya oleh seorang nabi yang lain, atau seseorang yang
memiliki tingkatan di atasnya. Karenanya dari seluruh manusia hanya seorang
nabi yang dapat menghormati seorang nabi yang lain; kita hanya mengetahui
sejauh itu, tidak lebih. Contohnya jika kita tidak pernah tidur dan seseorang
menceritakan kepada kita, bahwa seorang manusia berbaring, tidak bergerak,
tidak melihat, tidak mendengar dan tidak bicara, maka kita tidak akan
mempercayai orang itu, karena apa-apa yang tidak dilihat seorang manusia, tidak
akan dipercayainya. Karenanya ada firman Allah SWT: "Mereka mendustakan
apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna, padahal belum datang
kepada mereka penjelasannya." (QS 10:39). Selanjutnya: "Dan karena
mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: 'Ini adalah
dusta yang lama.'" (QS 46:11). Akan tetapi janganlah heran, jika para nabi
dan para wali memiliki sifat-sifat, yang tidak diketahui orang lain sama sekali
dan merasakan kesenangan serta mengalami kebahagiaan darinya, karena kita juga
melihat sendiri, bahwa seorang yang tidak dapat menghayati puisi, tidak
merasakan kesenangan dalam mendengarkan iramanya, dan bahwa tidak seorangpun
dapat mengajarkannya tentang hal itu, karena ia sama sekali tidak punya indera
perasa untuk itu, sebagaimana seorang buta sejak lahir tidak dapat mengerti
warna dan kesenangan melihat sesuatu. Karenanya kamu tidak perlu heran, jika
Allah Yang Maha Kuasa menciptakan beberapa kemungkinan pencerapan yang hanya
untuk tingkat kenabian dan yang tidak diketahui oleh seorangpun di bawah
tingkat tersebut.
Hingga kini kemuliaan zat hati manusia telah menjadi
jelas, demikian pula hakikat jalan para sufi. Akan tetapi jika kamu mendengar
para sufi berkata, bahwa ilmu pengetahuan adalah penghalang jalan ini, dan kamu
membantahnya, maka lain kali jangan lagi membantah pernyataan tersebut, karena
hal itu adalah kebenaran. Karena semua indera kasar dan semua pengetahuan yang
berasal darinya, akan menjadi penghalang bagi pengalaman-pengalaman batin, jika
kamu dikuasai olehnya. Karena hati itu seperti sebuah waduk dan panca indera
adalah lima batang sungai yang mengisi air ke dalam waduk itu. Jika kamu mau,
agar air jernih keluar dari dasar waduk tersebut, maka kamu harus menjauhkannya
dari air sungai dengan jalan membendungnya dan mengeluarkan semua lumpur yang
dibawanya, sehingga tidak ada lagi air yang masuk ke dalamnya, kemudian kamu
harus menggali waduk itu sehingga air jernih keluar dari dasar waduk. Akan
tetapi selama waduk itu diisi air yang berasal dari luar, maka tidak mungkin
air akan keluar dari dasar waduk. Begitu pula ilmu yang seharusnya keluar dari
dalam hati, tidak akan muncul, selama hati tidak bebas dari segala sesuatu yang
berasal dari luar. Akan tetapi jika seorang terpelajar membebaskan dirinya dari
segala ilmu yang telah dipelajarinya dan hatinya tidak terkungkung olehnya,
maka baginya ilmunya yang lama tidak menjadi penghalang baginya, dan mungkinlah
baginya umtuk mengalami singkapan (kasyaf), sebagaimana jika ia membebaskan
hatinya dari segala khayalan dan benda, khayalan dan benda tersebut tidak
menjadi penghalang baginya.
Akan tetapi sebab munculnya penghalang di jalan sufi
adalah: Jika seseorang telah belajar aqidah Ahlussunnah dan bukti-buktinya
sebagaimana disebutkan dalam diskusi dan pembahasan lalu hanya bersandar
kepadanya dan berpendapat, bahwa di luar pengetahuan ini tidak terdapat
pengetahuan lain dan -jika di dalam hatinya muncul sesuatu yang lain- berkata:
"Hal itu bertentangan dengan apa yang telah saya pelajari, dan semua, yang
bertentangan dengan itu, adalah salah.", maka kepada orang seperti itu
tidak mungkin tersingkap kebenaran. Karena aqidah seperti itu, yang dipelajari
oleh orang kebanyakan, hanyalah pembungkus kebenaran, bukan kebenaran itu
sendiri. Ma'rifat (pengenalan) sejati berarti, bahwa seseorang belajar
membedakan antara kebenaran dan pembungkusnya, sebagaimana membedakan antara
sumsum dan tulangnya. Dan ketahuilah: Jika seseorang mempelajari metode
pembahasan sebagai pembelaan prinsip-prinsip agama, maka baginya tidak dapat
tersingkap kebenaran, jika ia berpendapat, bahwa pengetahuan yang ia miliki,
adalah segalanya; maka pendapat itu akan menjadi penghalang baginya. Dan karena
pendapat seperti itu biasanya menguasai orang-orang yang belajar dengan cara
itu, maka kebanyakan dari mereka tidak mencapai tingkat ma'rifat dimaksud. Akan
tetapi jika orang seperti itu membebaskan dirinya dari pendapat seperti itu,
maka ilmu yang dipelajarinya tidak menjadi penghalang, bahkan jika ia mengalami
kasyaf (singkapan), maka ia akan mencapai tingkat kesempurnaan, dan ia
menjalani jalan tersebut lebih aman daripada orang-orang, yang sebelumnya tidak
mendalami ilmu yang dipelajarinya. Karena mereka itu dapat saja terperangkap
lama dalam khayalan salah, dan sedikit keraguan dapat menjadi penghalang.
Seorang terpelajar akan aman dari bahaya tersebut. Karenanya kamu harus
mengerti arti pernyataan, bahwa pengetahuan adalah penghalang, dan tidak lagi
membantahnya, jika kamu mendengarnya dari seseorang yang telah mencapai tingkat
kasyaf.
Akan tetapi sejauh menyangkut ahli bidah dan orang-orang
munafik, yang muncul di zaman kita ini, mereka itu tidak mencapai tingkatan
terrendah sekalipun, melainkan mereka hanya memakai cara-cara pengungkapan para
sufi dan sepanjang hari tidak berbuat, selain bersuci dan berjalan-jalan dengan
sajadah dan kemeja bertambalnya serta menghina ilmu pengetahuan dan para ulama.
Orang-orang itu pantas mati, karena mereka itulah setannya manusia dan musuh
Allah dan Rasul-Nya. Karena Allah dan Rasul-Nya memuji ilmu pengetahuan dan
ulama dan menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu. Bagaimana boleh orang-orang
munafik seperti itu, yang tidak punya pengalaman batin sedikitpun dan tidak
tahu tentang ilmu agama, berani-beraninya berucap: 'pengetahuan ulama adalah
penghalang di jalan sufi'?
Orang seperti itu mirip seorang, yang mendengar, bahwa
'batu orang bijak' itu lebih baik daripada emas, karena dengannya dapat
dihasilkan banyak emas, dan dia tidak mau mengambil sedikitpun emas yang
ditebarkan di depan dirinya, sambil berkata: "Untuk apa emas itu, berapa
harganya? 'Batu orang bijak'lah yang harus kita punya, yang dengannya kita
hasilkan emas." Dia tidak mengambil sedikitpun emas, meskipun sepanjang
hidupnya dia belum pernah melihat batu tersebut dan tidak tahu mengenainya
sedikitpun. Dia tetap sengsara dan lapar dan hanya memiliki kesenangan yang
kekanak-kanakan dengan pernyataan yang pada dasarnya benar, bahwa 'batu orang
bijak' itu lebih baik daripada emas, dan membual tentangnya. Wahyu para nabi
atau ilham para wali itu ibarat batu orang bijak, sedangkan ilmu para ulama
ibarat emas. Tentu saja pada dasarnya pemilik 'batu orang bijak' lebih utama
daripada pemilik emas. Hanya satu hal patut kita perhatikan: Jika seseorang
baru memiliki sejumlah 'batu orang bijak', yang dengannya dapat dihasilkan 100
dinar emas tidak lebih, maka ia tidak memiliki derajat lebih tinggi daripada
seseorang, yang memiliki 1000 dinar emas jadi. Begitulah, tentang 'batu orang
bijak' memang banyak ditulis dan dibicarakan, dan banyak yang mencarinya, akan
tetapi di seluruh penjuru dunia hanya sedikit yang benar-benar ditemukan, dan
kebanyakan orang yang berusaha mencarinya, tidak mendapatkan kecuali batu
palsu, begitu jugalah dengan hakikat tasawuf. Jarang sekali dari orang-orang
ini, yang mendapatkannya dan apa-apa yang ada sangatlah sedikit, dan jarang
sekali tercapai dengan sempurna. Karena itu haruslah kamu ketahui, bahwa mereka
yang sedikit mengalami pengalaman para sufi tidak serta merta memiliki derajat
di atas setiap ulama, karena sebagian besar hanya menembus sedikit ke awal-awal
tasawuf lalu kembali keluar dan tidak menembus hingga tahap akhir, yang lain
hanyalah terperangkap dalam khayalan, yang padanya tidak ada sesuatupun yang
sejati, tapi percaya, bahwa di situ terdapat sesuatu. Begitulah nasib sembilan
dari sepuluh orang. Sebagaimana dalam mimpi terdapat mimpi yang benar dan mimpi
fantasi, begitu pula yang terjadi dengan pengalaman dimaksud. Tidak, keutamaan
derajat di atas ulama hanyalah dimiliki oleh mereka, yang mencapai kesempurnaan
dalam hal-hal tersebut, sehingga dia mengetahui tanpa belajar semua ilmu agama.
Dan itu sangat jarang sekali. Begitulah, kamu harus mempercayai jalan tasawuf
dan keutamaan para sufi, dan janganlah ragu-ragu dalam kepercayaan ini, hanya
karena orang-orang munafik, yang muncul di zaman ini; tetapi jika seorang dari
mereka menghina ilmu pengetahuan dan para ulama, maka ketahuilah, bahwa dengan
itu mereka hanya membuktikan kehinaan mereka sendiri.
Semoga Bermanfaat
Semoga Bermanfaat